Kisah Buya Hamka dan Seputar Pelaksanaan 2 Hari Raya Idul Adha di Indonesia

Iklan Semua Halaman

Kisah Buya Hamka dan Seputar Pelaksanaan 2 Hari Raya Idul Adha di Indonesia

Mahmud Thorif
Jumat, 01 Juli 2022


PERBEDAAN penentuan hari raya Idul Adha yang menimbulkan dua hari raya Idul Adha bukan hal baru dalam sejarah Islam di Indonesia. Penulis mengambil contoh peristiwa yang terjadi pada tahun 1973. Sebagaimana yang diberitakan dalam majalah Suara Muhammadiyah No. 3 (1 Februari 1973/1 Muharram 1393) bahwa pelaksanaan Idul Adha di Indonesia tahun 1973 (1392 H) terjadi pada 2 hari.

Ada yang merayakan Idul Adha pada hari Ahad 14 Januari 1973; dan ada pula yang merayakannya pada Senin 15 Januari 1973. Menurut pengumuman resmi Dep. Agama kala itu, Idul Adha jatuh pada Senin 15 Januari 1973. Menariknya, putusan pemerintah ini sesuai dengan perhitungan hisab Muhammadiyah.

Adapun yang melaksanakan hari raya Idul Adha pada hari Ahad (14 Januari 1973) di antaranya adalah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Bahkan, di Malaysia kala itu kabarnya juga diadakan pada hari Ahad juga. Yang dijadikan acuan adalah keputusan Pemerintah Saudi Arabiyah yang mengatakan bahwa wuquf di Arafah jatuh pada hari Sabtu 13 Januari 1973, karena 1 Dzulhijjah ditetapkan pada 5 Januari 1972.

Menindak lanjuti keputusan dari Saudi, maka Dewan Da’wah Islamiyah Jakarta Raya bersama Ikatan Masjid Jakarta mengirim delegasi bersama untuk menemui Dep. Agama. Saat itu, delegasi diterima oleh Sekjen. Dep. Agama, Kol. Drs. H. Bahrum Rangkuti. Pada kesempatan itu diusulkan agar diupayakan agar Idul Adha disamakan baik pada tahun itu maupun yang akan datang berdasarkan wuquf di Arafah. Mengingat, hari Arafah itu hanya satu, dan terjadinya di Mekah.

Usul itu pun disampaikan kepada Menteri Agama. Hanya saja, berdasarkan keputusan resmi, Hari Raya Idul Adha 1392 ditetapkan pada hari Senin 15 Januari 1973. Sayangnya, tidak dijelaskan alasan penetapan tersebut. Akibatnya, pada saat itu ada 2 hari raya Idul Adha di Indonesia. Ada yang shalat id hari Ahad, ada pula yang menunaikannya pada hari Senin. Peristiwa ini sampai dimuat dalam Harian Masa Kini.

Lalu bagaimana dengan sikap Seksi Falak PP. Muhammadiyah Majlis Tarjih melihat persoalan ini? Berikut ini akan diuraikan pandangan Muhammadiyah dalam peristiwa unik ini. Dalam majalah Suara Muhammadiyah No. 3 (1973, hal. 6) ada tajuk “Sekitar 2 Hari Raja Idul Ad-Ha 1392”. Di situ dijelaskan latar belakang dan kronologi perbedaan itu terjadi. Bahkan dijelaskan pula pernyataa Seksi Falak Muhammadiyah terkait hal ini.

Di antara pernyataan yang cukup mewakili, “Tidaklah mungkin menyamakan begitu saja hari yang ada di Makkah dengan hari yang ada di Indonesia untuk menentukan Hari Raya Idul Adha. Jadi jalan yang paling safe (aman), ilmiyah dan syar’iyah, untuk menentukan permulaan bulan dan termasuk juga Hari Raya Idul Fithri ataupun Idul Adha adalah dengan HISAB.”

Ada beberapa pertimbangan yang melatari pernyataan tersebut. Pertama, Hari Ahad di Indonesia mulai jam 6 sore sampai jam 10 malam WIB sama dengan hari Sabtu (Hari Arafah) 1973 untuk wilayah Indonesia. Sedangkan Hari Arafah yang ditetapkan jatuh pada hari Sabtu untuk Makkah tidak seluruhnya bertepatan selama 24 jam dengan hari Sabtu yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, tidak bisa ditetapkan begitu saja bahwa Idul Adha mesti harus sama dengan di Makkah.

Kedua, berdasarkan hasil hisab Muhammadiyah yang menetapkan hari Senin sebagai hari Raya Idul Adha. Ketiga, seandainya Hari Raya Idul Adha ditetapkan di Indonesia pada Ahad 14 Januari 1973, perlu diperhatikan bahwa hari Arafah yang ditetapkan pada hari Sabtu di Makkah tidak seluruhya congruent (sama serupa) selama 24 jam dengan hari Sabtu di Indonesia. Apabila hari Sabtu ditetapkan begitu saja di Indonesia sebagai hari Arafah, maka konsekuensinya orang Indonesia mendahului 4 jam dari waktu orang di Mekah.

Melihat peristiwa ini, yang ditanyakan kepada Hamka, sahkah shalat hari raya Idul Adha pada Sabtu 13 Desember 1975 padahal sudah ada berita wuquf pada hari Kamis di Makkah sehingga seharusnya hari raya jatuh pada hari Jum’at? Cukup panjang jawaban Hamka. Tapi, di antara kesimpulan beliau: Pertama, tidak wajib negeri yang berjauhan mengikuti puasa dan berbuka pada Hari Raya Haji karena mathla’ tidak sama. Kedua, wuquf di Arafah diturut berdasarkan keputusan penguasa di negeri itu. Meski demikian, kata Buya Hamka, demi Syiar Islam, jika perayaan Idul Adha bisa dipersamakan, maka itu lebih baik. Wallahu a’lam bish-shawaab./ *Mahmud Budi Setiawan

Rep: Ahmad
Sumber : www.hidayatullah.com