Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Bukan telinga kita yang hilang, bukan pula pendengaran. Dua telinga Allah Ta’ala berikan dan keduanya memiliki ketajaman menangkap suara dengan baik. Pendengaran berfungsi normal. Tidak jarang sedemikian tajam. HP yang sedang mode sunyi diletakkan di lantai, saat bergetar pun dengan sigap kita menangkapnya. Bukan karena merasakan getarnya, tetapi karena ada suara yang cepat tertangkap telinga.
Apakah yang terjadi pada diri kita? Suara motor berubah sedikit saja, segera gelisah hati kita karena khawatir ada masalah di sana. Begitu pula saat pintu mobil tak tertutup rapat saat kita mengemudi, telinga kita segera menangkap keanehan suara. Kita segera tahu karena begitu dekat dan penuh perhatian, sehingga merasa tidak mengkhususkan diri untuk mendengarkan pun, kita segera mengenalinya. Tetapi alangkah banyak anak yang tidak betah berbincang dengan kita sebab kita pun tak sabar mendengarkan penuturan mereka. Kita mendengar, tetapi bukan mendengarkan.
Bersebab tidak adanya kesabaran itulah maka kita tidak betah berlama-lama membiarkan mereka bertutur berbagi cerita. Baru saja ia mengungkapkan isi hati, buru-buru kita berpanjang-panjang menasehati. Baru saja anak bercerita, panjang lebar kita berkhotbah. Sementara ketika anak berbagi gagasan, bukan rasa antusiasme yang kita tunjukkan, tetapi hujan pujian yang kita berikan. Padahal saat anak membicarakan gagasan, bahkan sekedar cerita, yang ia perlukan adalah telinga yang mau bersungguh-sungguh mendengarkan. Bukan pujian. Apalagi pujian tergesa-gesa. Tidak tulus pula.
Malu rasanya mengingat akhlak Atha’ bin Abi Rabah, seorang ulama besar dari kalangan tabi’in. Ia seorang ahli tafsir, ahli fiqih dan perawi hadis. Tetapi tengoklah bagaimana akhlaknya saat mendengarkan penuturan orang muda. Atha' bin Abi Rabah rahimahuLlah berkata, “Ada seseorang laki-laki menceritakan kepadaku suatu cerita, maka aku diam untuk benar-benar mendengarkannya seolah-olah aku tidak pernah mendengar cerita itu. Padahal sungguh aku pernah mendengar cerita itu sebelum ia dilahirkan.”
Inilah nasehat Atha’ bin Abi Rabah rahimahuLlah kepada murid-muridnya dan kepada kita semua; nasehat yang ditunjukkan dengan memberi contoh. Betapa bersemangatnya kita apabila saat bertutur disambut dengan kegairahan mendengarkan, seakan-akan apa yang kita tuturkan merupakan sesuatu yang baru dan sangat berharga. Betapa besar hati anak-anak kita kalau orangtua mempunyai telinga yang sempurna; berfungsi pendengarannya, berfungsi pula hati orangtua untuk mendengarkan sepenuh semangat, sepenuh kesungguhan.
Jika anak-anak tidak mendapati orang yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian dan semangat, maka kemanakah anak-anak itu harus pergi untuk menemukan orang yang mau menyambut cerita dan gagasannya? Padahal tatkala anak didengarkan dengan baik, saat itulah ia lebih mudah menerima nasehat. Dan sebaik-baik nasehat adalah yang ringkas, padat, penuh makna.
Seperti pil, nasehat untuk anak itu hendaknya tidak berpanjang-panjang sampai-sampai anak tak kuat mendengarnya. Padahal mendengar belum tentu mendengarkan. Perbanyak “airnya” agar anak mudah menelan dan mencernanya dengan baik.
Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi., Penulis Buku-buku Parenting
Sumber Fans Page Mohammad Fauzil Adhim