Hidup Ini Bukan untuk Ditangisi

Iklan Semua Halaman

Hidup Ini Bukan untuk Ditangisi

Mahmud Thorif
Selasa, 12 April 2022

NAPOLEON 
Bonaparte berkata di Saint Helena, “Saya tidak pernah mengenal kebahagian sepanjang enam hari dalam hidupkku.”

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik pernah mengatakan, “Aku menghitung hari- hari bahagiaku, ternyata hanya tiga belas hari saja.”

Sedangkan ayahnya, Abdul Malik, mengeluh, “Seandainya aku tidak pernah memangku jabatan khilafah.”

Said Ibnul Musayyib berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan mereka lari kepada kami dan bukan kami yang lari kepada mereka.”

lbnu Sammak, seorang yang jago memberi nasehat menemui Harun al Rasyid. Saat itu Harun sedang merasa haus dan meminta segelas air. Maka Ibnu Sammak bertanya, “Seandainya Anda dicegah untuk minum air itu apakah Anda akan menebusnya dengan separuh kerajaanmu?” Harun menjawab, “Ya.” Setelah selesai minum lbnu Sammak bertanya lagi, “Jika Anda dicegah untuk mengeluarkan air yang telah Anda minum dari perutmu apakah Anda rela membayar dengan separuh kerajaanmu yang lain?” Harun menjawab, “Ya.” Ibnu Sammak pun berkata, “Tidak ada artinya sebuah kerajaan yang nilainya tidak lebih berharga dari segelas air.”

Jika dunia ini tak ada keimanan di dalamnya maka dunia tidak berguna tidak berharga, dan tanpa makna.  Iqbal, seorang penyair asal Pakistan-mengatakan, “Jika iman telah tiada maka tidak ada lagi rasa aman, dan tidak ada dunia bagi siapa saja yang tidak menghidupkan iman. Barangsiapa rela dengan kehidupan tanpa agama, dia telah menjadikan kehancurannya sebagai teman karibnya.”

Ibnu Sammak bertanya, “Seandainya Anda dicegah untuk minum air itu apakah Anda akan menebusnya dengan separuh kerajaanmu?” Harun menjawab, “Ya.” Setelah selesai minum lbnu Sammak bertanya lagi, “Jika Anda dicegah untuk mengeluarkan air yang telah Anda minum dari perutmu apakah Anda rela membayar dengan separuh kerajaanmu yang lain?” Harun menjawab, “Ya.” Ibnu Sammak pun berkata, “Tidak ada artinya sebuah kerajaan yang nilainya tidak lebih berharga dari segelas air.”

Jika dunia ini tak ada keimanan di dalamnya maka dunia tidak berguna tidak berharga, dan tanpa makna.  Iqbal, seorang penyair asal Pakistan-mengatakan, “Jika iman telah tiada maka tidak ada lagi rasa aman, dan tidak ada dunia bagi siapa saja yang tidak menghidupkan iman. Barangsiapa rela dengan kehidupan tanpa agama, dia telah menjadikan kehancurannya sebagai teman karibnya.”

Cukup mengherankan, bahwa peringatan terhadap penyakit pemikiran dan akidah, dalam al-Qur an, lebih banyak dibandingkan peringatan terhadap penyakit jasmani. Allah berfirman:

فِىۡ قُلُوۡبِهِمۡ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًا ‌ۚ وَّلَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌۙۢ بِمَا كَانُوۡا يَكۡذِبُوۡنَ‏

“Di dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS: Al-Baqarah: 10)

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا وَرَبُّ الۡمَشَارِقِ

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) Allah memalinglkan hati mereka.” (QS: Ash-Shâffat: 5).

Filosof Prancis, Michel de Montaigne, menjadikan kata-kata berikut sebagai moto dalam hidupnya, “Manusia itu seharusnya tidak terpengarun oleh peristiwa yang terjadi sebagaimana ia terpengaruh oleh pendapatnya terhadap peristiwa tersebut.”

Dalam sebuah atsar disebutkan: “Ya Allah jadikan aku rela dengan qadha-Mu hingga aku tahu bahwa apa yang menjadi bagianku pasti akan datang dan yang bukan bagianku tidak akan pernah menimpaku. ” |(Dr. ‘Aidh al-Qarni, dalam La Tahzan).

Rep: Ahmad
Sumber : www.hidayatullah.com