Islam Menuntun Kita untuk Seimbang Dunia dan Akhirat

Iklan Semua Halaman

Islam Menuntun Kita untuk Seimbang Dunia dan Akhirat

Mahmud Thorif
Rabu, 29 Juni 2022

Oleh : Ustadz Asih Subagyo

ISLAM agama sempurna. Ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan, dan selalu relevan di sepanjang jaman. Demikian juga aturannya, senantiasa selaras dengan fitrah manusia. Di mana secara fitrah manusia memiliki keinginan dan kebutuhan. Semuanya diberikan kesempatan yang sama. Sehingga hal yang berkenaan urusan hidup, ada tuntunan dan panduan yang seimbang antara kehidupan di dunia dan akhirat. Berlaku prinsip dan hukum keseimbangan di dalamnya.

Hal ini ditegaskan dalam Surat Al Qashash ayat 77, Allah ta’ala berfirman:

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam Tafsir as-Sa’di, dijelaskan: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat.” Maksudnya, memperoleh sesuatu yang ada di sisi Allah dan bersedekahlah; dan jangan sekali-kali kamu merasa cukup dengan hanya sekedar memperoleh kepuasan nafsu dan meraih berbagai kelezatan.

“Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari duniawi”, maksudnya, Kami tidak memerintahmu agar menyedekahkan seluruh harta kekayaanmu sehingga engkau menjadi terlantar, akan tetapi berinfaklah untuk akhiratmu dan bersenang-senanglah dengan harta duniamu dengan tidak merusak agamamu dan tidak pula membahayakan akhiratmu.

“Dan berbuat baiklah,” kepada hamba-hamba Allah, “sebagaimana Allah telah berbuat baik” kepadamu dengan menganugerahimu harta kekayaan ini, “dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi,” dengan bersikap sombong dan berbuat berbagai maksiat terhadap Allah serta tenggelam di dalam kenikmatan dengan melupakan Pemberi nikmat itu. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Bahkan Allah akan menyiksa mereka atas perbuatan itu dengan siksaan yang paling berat.

Terkait dengan kalimat “dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari duniawi”, Ibn ‘Asyur memahaminya dalam arti “Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dari kenikmatan duniawi selama bagian itu tidak atas resiko kehilangan bagian kenikmatan ukhrawi.

Menurutnya, ini merupakan nasihat yang perlu dikemukakan agar orang yang dinasihati tidak menghindar dari tuntunan itu. Tanpa kalimat semacam ini, boleh jadi orang yang dinasihati memahami bahwa ia dilarang menggunakan hartanya kecuali untuk pendekatan diri kepada Allah dalam bentuk ibadah murni semata-mata.

Berdasarkan penjelasan Ibn ‘Asyur di atas, dapat dipahami bahwa seseorang boleh menggunakan hartanya untuk tujuan kenikmatan duniawi selama hak Allah menyangkut harta telah dipenuhinya dan selama penggunaannya tidak melanggar ketentuan Allah swt.

Dalam konteks Qarun, tidak mengapa seandainya ia mau menikmati kehidupan dunia dengan harta berlimpah, akan tetapi ia terlebih dahulu harus menunaikan kewajibannya seperti zakat dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk melakukan maksiat.

Keseimbangan yang dimaksud di atas memiliki kata kunci bahwa antara kebahagiaan perkara akhirat dengan berbagai perintah untuk melakukan amal kebaikan yang terkadung di dalamnya, minimal berbanding lurus dengan kehidupan di dunia dengan cara yang halal.

Artinya, tidak ada larangan untuk mencari rejeki sebanyak-banyaknya, namun tetap memperhatikan kehidupan disekitarnya dengan mengeluarkan zakat, infaq, shaqah dan lain sebagainya. Sehingga akan memperberat timbangan kebajikan di akhirat kelak.

Selanjutnya catatan pentingnya adalah ada perintah untuk senantiasa berbuat baik dan larangan untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Karena Allah tidak suka dengan orang yang berbuat kerusakan apapun itu bentuknya, dan pasti menghukumnya, cepat atau lambat.

Dengan demikian maka, meskipun diciptakan manusia di dunia untuk beribadah kepada-Nya, dan ini menjadi kewajiban utama manusia. Namun, bukan berarti sepanjang hari mesti diisi ibadah dalam perspektif ritual sebagaimana yang dipahami oleh awam.

Akan, tetapi juga diberikan waktu untuk menikmati dunia secara halal. Dan yang kesemuanya itu juga dapat dikaitkan dengan perspektif ibadah. Karena bekerja itu sesungguhnya juga ibadah. Sedangkan hasil dari kerja itulah yang menjadi bagian dari yang dinikmati. Sehingga keseimbangan dalam kehidupan itu, nyata adanya.

Oleh karenanya, agar kita tidak tergelincir dan tetap berada dalan titik keseimbangan, selayaknya kita perlu menyimak nasihat Salafush Shalih Yahya bin Mu’adz رحمه الله berikut ini:

Wahai manusia…engkau mencari dunia dalam keadaan engkau bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya..dan engkau mencari akhirat dalam keadaan seperti orang yang tidak membutuhkannya (malas-malasan). Padahal dunia sudah mencukupimu walaupun engkau tidak mencarinya, sedangkan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya. Maka pahamilah keadaanmu !?”

Semoga nasihat ini, merupakan pengingat dan panduan kita dalam memaknai keseimbangan, sebagaimana yang telah diberikan Allah ta’ala kepada kita sebagai mahkluknya ini. Selanjutnya kita berussaha untuk dapat mengamalkannya semaksimal mungkin dalam hidup dan kehidupan kita. Wallahu a’lam

Ust Asih Subagyo, Pengurus DPP Hidayatullah
Sumber : www.hidayatullah.or.id