Oleh Imam Nawawi
GELOMBANG krisis media cetak yang melanda dunia dalam satu dekade terakhir memberikan peringatan serius bagi siapa pun yang terlibat dalam industri informasi. Raksasa-raksasa pers yang pernah menjadi simbol kejayaan jurnalistik global kini satu per satu tumbang.
Newsweek mengakhiri edisi cetaknya setelah 80 tahun penerbitan, menyatakan bahwa model majalah cetak tak lagi sanggup menopang biaya produksi di era digital. Chicago Tribune dan The Sun kehilangan jutaan pembaca, padahal keduanya sempat mencatat laba ratusan juta poundsterling di masa kejayaannya.
Fakta-fakta ini berdiri sebagai lonceng peringatan paling nyaring: Jika media bertabur modal triliunan pun bisa gulung tikar karena gagal membaca zaman, apa jaminan Majalah Suara Hidayatullah (Sahid) akan abadi?
Jawabannya keras dan jujur: tidak ada jaminan. Tidak ada institusi media yang aman dari disrupsi digital. Yang ada hanyalah kesiapan beradaptasi, atau, hilang ditelan zaman.
Industri media cetak global telah menyusut tajam. Sirkulasi media cetak di berbagai negara mengalami penurunan dua digit sejak pertengahan 2010-an. Organisasi seperti Pew Research Center mencatat bahwa pendapatan iklan media cetak di AS turun lebih dari 70% dalam dua dekade terakhir.
Di Indonesia, laporan Antara dan berbagai lembaga riset menunjukkan tren serupa dimana koran-koran besar berhenti cetak atau mengurangi halaman, sementara majalah-majalah mapan kehilangan pasar akibat perpindahan pembaca ke platform digital.
Di tengah realitas ini, Majalah Suara Hidayatullah tidak boleh terjebak keyakinan romantik bahwa media dakwah akan selalu hidup karena nilai-nilai yang dibawanya. Nilai memang kekuatan moral, tetapi model bisnis dan strategi editorial tetap menentukan umur panjang sebuah media. Karena itu, keberanian “membunuh cara lama” adalah satu-satunya pilihan rasional.
Masyarakat tidak lagi membutuhkan majalah cetak untuk mengetahui apa yang terjadi. Teknologi telah mengambil alih fungsi tersebut melalui pemberitahuan real-time di gawai setiap orang. Jika Sahid terus menjual berita harian atau informasi permukaan yang bisa ditemukan di Google, maka ia sedang menggali kuburnya sendiri.
Langkah yang logis bagi edisi cetak adalah berubah menjadi produk intelektual premium. Disinilah konsep slow journalism menjadi relevan dengan menyajikam laporan investigatif mendalam, analisis peradaban, panduan keluarga Muslim, hingga arsip pemikiran yang tak lekang dimakan algoritma.
Versi cetak harus menjadi barang koleksi, bukan komoditas sekali baca. Kertasnya harus berkualitas, desainnya memikat, dan isinya harus menjadi referensi dakwah yang layak disimpan di rak-rak buku kader, akademisi, dan keluarga pembaca. Dengan demikian, posisi cetak bukan untuk sekadar bersaing dengan kecepatan digital, tetapi menawarkan kedalaman, bobot, dan keindahan intelektual.
Namun kemungkinan beralih ke 100% digital juga tidak boleh ditakuti. Jika ongkos cetak semakin mencekik, atau distribusi semakin tidak efisien, maka transisi penuh ke ruang digital bukanlah bentuk kekalahan. Inilah evolusi.
Pada platform digital, Sahid justru memiliki peluang tumbuh lebih cepat melalui ekosistem multimedia: video dokumenter, podcast diskusi pemikiran, artikel mendalam interaktif, hingga serial dakwah yang dikemas visual.
Tentu langkah ini menuntut revolusi model bisnis. Harga digital Rp 86.000 untuk tiga edisi misalnya, tidak kompetitif dibandingkan pemain nasional yang menawarkan harga jauh lebih rendah untuk akses setahun. Solusi yang lebih rasional adalah membership dimana pembaca menjadi anggota gerakan dakwah, bukan pembeli PDF. Mereka membayar bukan untuk berlangganan, tetapi untuk mendukung visi.
Digital juga membuka pintu inklusivitas generasi Z dan Alpha. Konten bisa dikembangkan menjadi potongan pendek yang memancing perhatian di TikTok atau Instagram Reels, kemudian diarahkan ke kanal utama Sahid untuk konsumsi konten penuh. Ini bukan sekadar strategi pemasaran, tetapi strategi pembinaan dalam menjangkau generasi yang secara natural hidup dalam dunia digital.
Pada akhirnya, yang harus dipertahankan bukan bentuk fisiknya, tetapi napas ideologinya. Gagasan dakwah yang jernih, konsisten, dan terukur. Kertas hanyalah kendaraan. Jika kendaraan itu rusak, ia bisa diganti dengan roket digital.
Namun selama masih mungkin dirawat, edisi cetak dapat menjadi “mahkota” yang menjadi simbol eksklusivitas dan kedalaman. Sementara edisi digital menjadi “pedang” yang menjangkau jutaan massa.
Jika media raksasa dunia bisa tumbang karena gagal membaca zaman, maka Sahid tidak punya kemewahan untuk lambat berubah. Statusnya sebagai media dakwah justru menuntutnya untuk lebih cepat beradaptasi demi memastikan suara peradaban Islam tetap hadir di tengah riuh rendah arus digital.
Dan, Sahid harus memutuskan: ikut berubah, atau, dipaksa berhenti oleh zaman.[]
*) Imam Nawawi, penulis pegiat literasi Hidayatullah
Sumber www.hidayatullah.or.id
.png)
Komentar