Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis memuji sikap tegas pemerintah yang dalam hal ini diwakili Menteri Agama (Menag) dan Menghumham yang telah menolak melegalkan pernikahan beda agama. Sebelumnya, seorang warga negara asal Papua telah mengajukan uji materi UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Bagus dehhh… Kompak deh sama kami2 dan kita2. Tinggal gmn caranya membatalkan model keputusan pengadilan Negeri utk pecatatan administrasi kependudukan krn itu membuat bingung masyarakat. Tdk sah tapi dicatatkan?,” demikian ciutan KH Cholil Nafis di akun twitter, Senin, (4/7/2022).
Senada dengan Cholil Nafis, Wakil Ketua MPR RI 2019-2024, Dr Hidayat Nur Wahid mengatakan keputusan pemerintah ini akhirnya bisa mengakhiri polemic soal nikah beda agama di tanah air. “Sikap Benar yg Semoga Akhiri Polemik Nikah Beda Agama. Dalam Sidang di MK, Sesuai Dg UUDNRI 1945 Serta UU Perkawinan, Pemerintah Diwakili MenkumHam dan Menag, Tegas Tolak Legalkan Nikah Beda Agama,” ujar Hidayat melalui akun twitter.
Hari Senin, (4/7/2022) pemerintah telah menolak melegalkan pernikahan beda agama. “Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak‐tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” demikian keterangan pemerintah yang dikutip dari website MK, Senin (4/7/2022).
Sikap pemerintah ini diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.”Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama,” kata Kamaruddin Amin dikutip laman detik.
Menurut pemerintah, hukum perkawinan masing‐masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda‐beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan. Suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat‐syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‐masing pasangan calon mempelai.
“Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan,” urai pemerintah.
Pemerintah menegaskan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan justru telah memberikan kepastian hukum bagi setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan sesuai dengan hukum perkawinan agama dan kepercayaan yang dianut tidak dengan cara melaksanakan perkawinan beda agama.
“Bahwa justru kehendak Pemohon untuk melaksanakan perkawinan beda agama, bahkan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum agama dan kepercayaan yang dianut, tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, dan ketentuan peraturan perundang‐undangan lainnya,” kata Pemerintah menguraikan.
Menurut Yasonna dan Yaqut setiap agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat memiliki hukum perkawinan. Di dalam hal ini termasuk syarat dan cara perkawinan.
Menurut Kamaruddin, yang mewakili Pemerintah, Ramos Petege sebagai memohon memiliki kehendak bebas dan menyimpang dari aturan perkawinan itu karena keinginan untuk melakukan beda agama. Permohonan ini juga dinilai sebagai upaya Ramos mencari jalan pintas menyimpang syariat.
“Hal inilah yang menjadi tidak jelas atau kabur (obscuur libel) dari petitum permohonan pemohon,” ujar Kamaruddin.
Petitum lain yang dianggap kabur adalah pemaknaan pemohon terhadap Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Pasal tersebut menyebut 2 orang yang menjalin hubungan dilarang menikah karena sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum masing-masing agama.
Hukum mengenai perkawinan di masing-masing agama menjadi bagian penting. Karena itu, menghapus larangan dalam hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaannya merupakan permohonan yang kabur.
“Sehingga menurut Pemerintah adalah tidak tepat jika Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi … Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” ujar Kamaruddin.
Terkait ini Yasonna dan Yaqut menyatakan bahwa UU Perkawinan dibuat untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum setiap pemeluk agama. Sementara, setiap agama memiliki aturan yang berbeda.
“Sehingga tidak mungkin untuk disamakan suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan,” sebagaimana dibacakan Kamaruddin.
Selain itu, pemerintah juga menyodorkan sejumlah dalil dalam hukum Islam, termasuk fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pernikahan beda agama. Pemerintah juga menyatakan pernikahan beda agama dan kepercayaan tidak boleh dilakukan atas dasar HAM dan kebebasan.
Sebab, dalam menjalankan dua hal itu negara telah menetapkan pembatasan. “Dengan maksud semata‑mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan ethical, nilai‑nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis,” tutur Kamaruddin.
Atas dasar dalil dan bantahan itu, Yasonna dan Yaqut meminta Mahkamah menyatakan pemohon tidak memiliki authorized standing. Mahkamah juga diminta menolak permohonan pengujian pemohon.
Sebelumnya, Ramos mengajukan gugatan atas UU Perkawinan. Ia meminta agar Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan tidak dapat dan tidak bisa mengatur perkawinan beda agama.
Dalam permohonannya, diungkapkan bahwa Ramos telah menjalin hubungan selama 4 tahun. Namun, saat kedua pihak telah mencapai kesepakatan untuk menikah, meski harus menundukkan salah satu agama, perkawinan itu dibatalkan mempelai wanita.*
Rep: Ahmad
Sumber : www.hidayatullah.com