Idul Fitri Fil Fikri: Sebuah Refleksi

Iklan Semua Halaman

Idul Fitri Fil Fikri: Sebuah Refleksi

Mahmud Thorif
Kamis, 05 Mei 2022


IDUL FITRI berasal dari dua kata ‘ied bermakna “mengulang”, fitrah berasal dari aslinya, atau suci.  Harapan besar seluruh mu’minin (Q.S 2: 183) setelah menjalani bulan tarbiyah ruhiyah wa jismiyah yaitu bulan Ramadhan akan kembali seperti aslinya dahulu dilahirkan yaitu “fitrah”.

Karena ganjaran bagi orang berpuasa yang menjalankan ibadah dengan totalitas diantaranya adalah diampuni segala dosanya yang telah lampau serta mendapat malam lailatul qadar

Jika diresapi dengan mendalam, ranah yang disasar dalam bulan mulia ini tidak sebatas dalam amaliyah qolbiyah dan jawarih, namun ranah aqliyah-pun termasuk di dalamnya. Kita dapat menginsyafi selain disebut bulan tazkiyatun-nafs pembersihan jiwa, dapat juga disebut pembersihan pikiran (fikr) atau boleh penulis beri istilah tazkiyatu al-Fikr (pembersihan dalam proses berpikir) yang nanti produksinya adalah ‘aqlu saliim (akal yang selamat).

Apabila kita bersedia jujur, diri kita masing-masing pernah mengakui sebuah pengakuan besar, boleh disebut dengan mitsaq yaitu pengakuan seluruh manusia bahwa penisbatan Allah sebagai Rabb, Allah berfirman (Q.S 7: 172) Alastu bi robbikum? (Apakah Saya –Allah- benar benar Tuhanmu?)seraya kita menjawab: bala syahidnaa (Ya, Kami setuju serta bersaksi) inilah kejadian sebelum Allah memberikan eksistensi di dunia ini (di dalam alam ruh).

Pengakuan ini adalah deklarasi mutlaq bahwa fitrah manusia adalah mengakui Allah sebagai Rabb, namun karena kelalaian manusia tersendirilah mereka membelot dari perjanjian ini . Rasulullah ﷺ bersabda;

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Manusia diciptakan secara fitrah (suci), namun yang menjadikan Yahudi, Majusi dan Nashrani adalah faktor orang terdekatnya yaitu orang tua, atau ada potensi manusia yang menjauhkan dari fitrahnya itu. Menelaah kembali hadits ini, kelahiran manusia di bumi ini seperti yang Allah firmankan dalam Q.S at-Tiin, Laqod kholaqnaa al-Insan fi Ahsani taqwiim (sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan) bahwa manusia telah diciptakan Allah dengan komprehensif termasuk di dalamnya ‘aql yang Allah ilhamkan kepada manusia sebagai pembeda dengan mahluk lainnya.

Aql secara etimolog mempunyai arti “pengikatan”, maksud dari pengikatan disini adalah ‘aql berfungsi untuk mengikat objek ilmu yang didapatkan, ‘aql bukanlah otak, kenapa demikian? Karena ‘aql  adalah suatu substansi ruhiah yang memungkinkan untuk mengenali kebenaran dan mampu membedakan antara haq dan bathil, sedangkan otak adalah organ jasadiyah sebagai alat pendukung yang krusial dalam proses aktivitas ‘aql, proses ini dapat dikatakan sebagai fikr.

Jika ditelaah dalam kehidupan nyata, ada manusia yang mempunyai otak, namun kadang hilang ‘aql-nya seperti orang mabuk, orang gila, orang tidur, orang sedang sakit koma, dll, maka ini sebagai bukti bahwa ‘aql bukanlah otak.

Boleh dikatakan, fitrah dari dari ’Aql yang diberikan Allah kepada manusia ialah ikhtiyar yaitu suatu upaya untuk memilih hal yang paling baik (khayr). Karena ‘aql sejatinya akan menuntun manusia ke jalan lurus serta pembeda antara baik dan buruk.

Namun kembali lagi, ‘aql membutuhkan bimbingan lebih tinggi darinya yaitu wahyu (khabar shadiq) yang final dari Allah disyarah oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dari wahyu, ‘aql akan menerima berita antara haq dan bathil, kemudian diproses dalam fikr dan dituangkan dengan lisan serta perbuatan dan direaliasasikan dalam sistema kehidupan (minhaj al-hayah).

Di sepanjang bulan Ramadhan sudah berlalu, berbagai kajian terbuka lebar serta sangat mudah akses untuk mengikutinya. Intesitas kajian mengenai Islam meningkat secara signifikan. Dari tingkat majelis untuk athfal, pemuda-pemudi, bapak-bapak, ibu-ibu dari umur produktif hingga lansia.

Lebih dalam lagi, dari tingkat ‘awwam hingga intelektual-pun gandrung mengikuti kajian-kajian di bulan berkah ini. Di sinilah, aktivitas tazkiyatu al-fikr berjalan. Dengan Idul Fitri, artinya mengajak seluruh umat Islam yang beriman untuk menalaah kembali asas-asas ajaran Islam dari segi aqidah, syari’ah, akhlaq bahkan sampai tashawuf.Idealnya, dengan berbagai proses tempaan di bulan Ramadhan lalu, para umat Islam mampu meningkatkan daya pengetahuan serta daya pemahaman terhadap ajaran yang dianut (Islam). Memberikan semangat ‘ied (kembali) fitri (suci) dalam pikirannya, mampu men-tazkiyah fikr-nya, sehingga mampu membedakan antara haq dan bathil, karena sudah jelas mana yang petunjuk mana yang penyesat (…qod tabayyana ar-rusyd wal ghayy… QS. 2:256).

Dan pikirannya setelah menjalani proses tazkiyatu al-fikr, mampu meningkatkan daya furqon (pembeda) dengan pedoman al-Qur’an, karena al-Qur’an bukan sekadar bacaan namun sejatinya untuk meningkatkan nalar furyang tajam (…al-Qur’an huda li an-naas wa bayyinati min al-huda wa al-furqon…Q.S. 2: 185).

Dengan menginsyafi kembali makna fithroh (suci) yang disabdakan Rasulullah ﷺ, maka seyogyanya kita ingat kembali asal kita yaitu suci dan bersih. Namun karena kezaliman manusia sendiri-lah kita menjadi kotor sehingga perlu di-tazkiyah jiwanya serta pikirannya.

Menyadari kembali bahwa kita pernah bersaksi kepada Allah sebagai Rabb seluruh alam maka wajib kita sadari dengan hati lapang, sejauh mana kita istiqomah dalam memegang janji itu (Q.S. 7: 172). Dan wajib direnungi pula, dimanakah posisi kita sekarang berada, apakah masih dalam status hamba yang mengabdi secara ikhlas kepada-Nya? (mukhlisina lahu ad-diin: al-Bayyinah) atau posisi kita menjadi hamba yang terpaksa?

Lebih penting lagi, kita mampu merekonstruksi secara rapi bangunan-bangunan Ilmu dalam Islam yang diterima oleh ‘aql bersumber dari wahyu, kemudian diproses dalam aktivitas fikr. Lebih lanjut, setelah terposes dalam fikr lebih lanjut dapat digunakan sebagai cara memandang kehidupan dunia ini yang bersifat teoritis sekaligus praksis.

Wal akhir, sebagai pesan dari penulis, kembalilah (‘ied) berpikir dengan fitrah (fitrhoh), berpikir selayaknya manusia berakal (al-Insan al-aqil) seutuhnya, senantiasa berproses untuk memilih hal yang paling baik (khayr) dengan ikhtiyar, serta mampu membedakan haq dan bathil dengan panduan wahyu (khabar shadiq) bukan nafsu.

Besar harapan ditahap akhir, dengan Idul Fitri kita mampu mengoperasionalkan proses fikr untuk memandang kehidupan dunia ini menjadi cara pandang (worldview) yang saling terikat realitas dan kebenaran (haqq). Amin. Wallahu ‘Alam Bi Showab.*/ Alvin Qodri Lazuardystaff Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Ahmad Dahlan, Founder Majelis Budaya Islam Tegal MABIT

Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil
Sumber : www.hidayatullah.com