Dana Haji Kurang Rp 1,5 T, Anggota Komisi VIII DPR Pertanyakan Ketidakcermatan Menag

Iklan Semua Halaman

Dana Haji Kurang Rp 1,5 T, Anggota Komisi VIII DPR Pertanyakan Ketidakcermatan Menag

Mahmud Thorif
Rabu, 01 Juni 2022

Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf keberatan dengan usulan tambahan anggaran operasional haji reguler dan khusus Rp 1,5 T tahun 1443H/2022M yang diajukan oleh Menteri Agama (Menag) menjelang keberangkatan haji kloter pertama pada 4 Juni 2022. Dia menilai usulan tersebut mencerminkan kelemahan pemerintah dalam menyusun rencana penyelenggaraan ibadah haji.

Bukhori menyoroti besarnya usulan tambahan anggaran haji reguler dan khusus yang mencapai Rp1,5 triliun yang akan dibebankan pada Nilai Manfaat dan Dana Efisiensi Haji. Dia meminta pemerintah mengemban penuh tanggung jawab.

“Tambahan anggaran operasional haji tidak boleh dibebankan kepada jemaah, dengan mengambil Nilai Manfaat dan Dana Efisiensi yang merupakan dana umat yang dikelola oleh BPKH, untuk menutupi kekurangan anggaran operasional penyelenggaraan haji yang sudah ditetapkan akibat ketidakcermatan pemerintah menyusun anggaran,” tegasnya saat Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama, Senin (30/5/2022).

Bukhori mengatakan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sudah terlanjur disepakati oleh DPR dan Kementerian Agama kemudian ditetapkan oleh Presiden melalui Keppres No.5/2022 tentang BPIH 1443H/2022M. Namun, katanya, jika BPIH tetiba diubah setelah ditetapkan, maka akan berpengaruh terhadap akuntabilitas dari Keppres tersebut.

“Dia (red: biaya haji) sudah menjadi dokumen negara yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Artinya, pemerintah semestinya mengemban penuh tanggung jawab apabila terjadi perubahan mengingat pembahasan di DPR sudah selesai. Pun, jika ada usulan penambahan anggaran, tidak boleh diambil dari dana jemaah,” lanjutnya.

Anggota DPR yang pernah duduk sebagai Panitia Kerja (Panja) BPIH ini mengungkapkan desas-desus pemberlakuan sistem paket layanan haji di Arab Saudi sebenarnya sudah terdengar oleh Komisi VIII DPR sebelum panja BPIH dibentuk. Meskipun begitu, otoritas Kerajaan Arab Saudi tidak kunjung memberikan pemberitahuan resmi soal sistem paket layanan haji tersebut kepada Pemerintah Indonesia.

Komisi VIII DPR, menurutnya, juga telah mengingatkan Kementerian Agama terkait hal itu agar menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun usulan komponen BPIH tahun 1443H/2022M.   “DPR tidak melihat ini sebagai hal yang sederhana. Isu pemberlakuan sistem paket sebenarnya sudah lama terdengar dan semestinya tim pemerintah yang bertugas melakukan monitoring persiapan haji selama kurang lebih dua bulan terakhir sudah memitigasi risiko ini melalui proses negosiasi yang kuat. Apalagi, dengan mempertimbangkan bahwa cara pandang Kerajaan Arab Saudi yang melihat penyelenggaraan haji saat ini sebagai suatu industri sehingga dapat dipastikan mereka telah mendesain ini secara sistemik, salah satunya melalui sistem paket,” jelasnya.

Atas dasar itu, anggota DPR Dapil Jateng 1 ini mengaku keberatan bila usulan tambahan anggaran operasional haji senilai Rp 1,5 triliun dibebankan kepada jemaah. Dia menekankan, ada sekitar 5 juta jemaah haji yang menitipkan dananya kepada BPKH yang juga berhak memperoleh nilai manfaat.

Dengan begitu, nilai manfaat tersebut bukan hanya milik jemaah yang akan berangkat pada tahun ini yang jumlahnya hanya 100.051 jemaah.  “Perlu dicatat, yang berhak menerima nilai manfaat bukan hanya jemaah yang akan berangkat pada tahun ini saja. Pasalnya, dana yang mesti ditanggung oleh umat yang bersumber dari nilai manfaat untuk penyelenggaraan haji tahun 2022 saja sudah mencapai Rp41 juta per jemaah. Jika mesti ditambah lagi, kami khawatir akan mengancam keberlanjutan (sustainability) penyelenggaraan haji untuk  30-40 tahun mendatang. Apalagi, return yang diperoleh dari BPKH juga tidak terlalu besar, hanya 7-8 persen,” tegasnya. 

Lebih lanjut, Anggota Badan Legislasi ini mengusulkan Pemerintah Indonesia menyampaikan secara resmi nota keberatan kepada Kerajaan Arab Saudi atas kenaikan biaya penyelenggaraan haji, khususnya pada paket Masyair, yang dinilai tidak wajar. Selain itu, dia juga mendorong pemerintah Indonesia mengambil inisiatif membentuk konsorsium haji antar negara untuk meninjau kebijakan penyelenggaraan haji oleh Kerajaan Arab Saudi.

“Meskipun Kerajaan Arab Saudi memiliki hak dalam konteks penyelenggaraan, hak untuk berhaji sesungguhnya adalah hak milik umat Islam secara universal dan bukan hanya milik Arab Saudi semata,” tegasnya.

Sementara, demikian Bukhori melanjutkan, untuk memperkuat posisi geopolitik kita dalam melakukan diplomasi dengan Arab Saudi, Indonesia perlu mengambil inisiatif membentuk aliansi yang beranggotakan negara-negara yang mengirimkan jemaah hajinya ke Arab Saudi. Hal ini perlu dilakukan untuk bersama-sama bicara dengan posisi yang setara dan memberikan pesan kolektif yang kuat kepada pemerintah Kerajaan Arab Saudi soal dampak kebijakan haji mereka terhadap kepentingan umat Islam dunia, pungkasnya.*

Rep: Ahmad
Sumber : www.hidayatullah.com