Oleh: KH Ainul Yaqin, MSi
BANYAK ORANG yang akhirnya menyadari bahwa liberalisme bukanlah semata-mata kegenitan intelektual, tetapi sebuah gerakan ideoligis bahkan sudah menjadi proyek yang mengancam sendi dasar ajaran Islam. Proyek dan gerakan liberalisme secara sistimatis berusaha mempengaruhi rumusan kebijakan publik.
Sebut saja terkait inisiasi RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Juga adanya upaya uji materi (judicial riview) terhadap peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan.
Upaya uji materi UU pernikahan sempat diajukan ke MK tahun 2014 yang lalu oleh sejumlah nama, yakni Damian Agata Yuvens, dkk. Fokus gugatannya pada pasal 2 ayat (1) UU ini, yang mengatur keabsahan pernikahan harus berdasarkan agama. Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan konstitusi karena membatasi ruang untuk mempraktikkan pernikahan beda agama yang oleh mereka dinyatakan sebagai hak asasi.
Melalui putusan No. 68/PUU/XII/2014, MK menolak permohonan tersebut. Pasal ini kembali digugat ke MK awal Februari lalu oleh E. Ramos Petege, pria Katolik yang ingin menikahi pacarnya yang muslimah.
Pada saat uji materi terhadap UU Pernikahan terus dupayakan, perjuangan untuk mengeksiskan pernikahan beda agama melalui praktik fasilitasi terus dilakukan. Adalah sosok Ahmad Nurcholis, aktivis Pusat Studi Agama dan Perdamaian yang secara gigih memberikan pendampingan pada pasangan beda agama. Nurcholis mengaku telah menfasilitasi pernikahan tidak kurang dari 1.424 pasangan beda agama. Ia sendiri adalah pelaku pernikahan campuran ini.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama menanggapi fenomena pernikahan beda agama. Sekitar tahun 1980 an banyak media massa memberitakan kasus pernikahan beda agama, terutama antara pemeluk Islam dan Kristen.
Majelis Ulama Indonesia akhirnya mengeluarkan fatwa tertanggal 1 Juni 1980 yang isinya larangan pernikahan campuran, baik antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim atau sebaliknya. Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab pun dinyatakan haram, setelah mempertimbangkan mafsadahnya yang lebih besar dari maslahahnya.
Beberapa tahun kemudian, tanggal 30 September 1986, MUI mengeluarkan surat terbuka yang menyerukan agar orang Islam tidak menikah dengan orang yang berlainan agama dalam kondisi apapun. Surat terbuka ini merupakan jawaban dari surat yang dikirim Nasimul Falah, yang menanyakan status pernikahan antara bintang film Lydia Kandou yang beragama Kristen dengan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Surat tersebut juga merespon beberapa artikel di media, seperti Kompas, Pelita, dan Pandji Masyarakat.
MUI kembali mengeluarkan fatwa larangan pernikahan beda agama pada Musyawarah Nasional tahun 2005 dengan fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Fatwa ini dikeluarkan untuk mempertegas fatwa sebelumnya dan merupakan jawaban atas opini yang secara gencar digulirkan oleh para aktivis liberal.
Pada fatwa ini dinyatakan, pernikahan beda agama tidak hanya haram, tetapi juga tidak sah. Konsekuensinya, orang yang menjalaninya akan dinilai zina ketika melakukan hubungan suami istri.
Gencarnya wacana pernikahan beda agama mempunyai benang merah dengan ‘gerakan kristenisasi’ dan proyek deislamisasi. Bahkan hal ini dapat dicermati dari dinamika politik menjelang kelahiran UU Pernikahan itu sendiri yaitu UU No. 1 tahun 1974.
Pada 31 Juli 1973 pemerintah mengajukan RUU Pernikahan. Ada sejumlah pasal bermasalah dalam RUU ini, yang kemudian diketahui bahwa Draft RUU pernikahan ini dibuat oleh orang-orang di sekitar Ali Murtopo yang kebanyakan dari kalangan Kristen sekular.
Berdasarkan penelitian majalah Tempo, sedikitnya terdapat sembilan pasal bermasalah yang berlawanan secara prinsipil dengan ajaran Islam. Diantara pasal bermasalah tersebut adalah pasal 11 ayat 2 yang menyatakan:
“Perbedaan dikarenakan kebangsan, kesukuan, tanah asal, agama, kepercayaan dan keturunan, bukan merupakan halangan untuk pernikahan”.
Pasal ini jelas memberikan legitimasi praktik pernikahan beda agama.
Para tokoh Islam dari berbagai unsur secara serempak memberikan respon keras terhadap RUU terserbut. KH Yusuf Hasyim tokoh NU anggota DPR RI fraksi PPP dengan lantang mengatakan bahwa RUU ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Senada dengan itu, KH Badruddin Rusli anggota fraksi Karya Pembangunan juga berkomentar keras menolak RUU ini. Buya Hamka secara tegas menyatakan, RUU ini adalah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas untuk meninggalkan syari’at agamanya sendiri.
Organisasi-organisasi Islam berdemonstrasi untuk mendesak supaya pasal-pasal bermasalah dalam RUU diganti. Tak kurang di sini termasuk organisasi Pergerakan Mahasisiwa Islam Indonesia (PMII). KH. Bisri Sansuri dan KH. Masykur dari Nahdlatul Ulama berusaha meloby pemerintah agar melakukan perbaikan RUU ini.
Pernyataan keras menanggapi RUU Pernikahan tersebut dikemukakan oleh Prof. Dr. H.M. Rasyidi, mantan Menteri Agama. Ia menuding, ada “kristenisasi dalam selubung”. Menurutnya, pasal dalam RUU pernikahan ini merupakan satu paket dalam gerakan kristenisasi yang dijalankan oleh misionaris di Indonesia seperti adanya pembangunan gereja-gereja di tengah-tengah perkampungan umat Islam, di ladang persawahan dan di lokasi strategis di kota-kota besar melebihi kenyataan jumlah orang-orang Kristen.
Atas berbagai upaya tersebut, UU Pernikahan akhirnya disahkan dengan berbagi perubahan-perubahan yang mendasar. UU Pernikahan yakni UU No.1 tahun 1974 yang sekarang ada adalah hasil perjuangan keras dan melelahkan bagi umat Islam.
Ketika Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disahkan dengan perubahan, golongan Kristen kecewa. Mereka mengeluarkan memorandum yang mengemukakan pandangan dasar mereka, memorandum tersebut berjudul, “Negara perlu memberikan ruang untuk kawin sah menurut hukum negara”. Menaggapi hal ini, Prof. Rasyidi menyatakan, “Memorandum ini hanya mengemukakan problem yang dibuat-buat dengan argumentasi yang tidak bernilai yang intinya adalah, “janganlah mengatur pernikahan umat Islam, karena pemerintah tidak ada hubungannya dengan agama, seseoarang harus boleh kawin menurut suatu hukum di luar agama”.
UU No. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan yang diputusakan dengan perjuangan keras dari umat Islam agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam terus diusik.
Di balik ini ada proyek deislamisasi yang bersenyawa dengan liberalisme. Tentu di dalamya termasuk kalangan missionaris yang sudah sejak lama menyimpan rasa kecewa terhadap keberadaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Pernikahan ini.
Anehnya, para aktivis liberal dalam berbagai kesempatan secara giat mengopinikan bahwa pernikahan beda agama tidak ada masalah dari perspektif ajaran agama (Islam). Ulil Abshar Abdalla, koordinator JIL dalam artikelnya di koran Kompas (Senin, 18/11/2002) mengatakan bahwa larangan pernikahan lintas agama sudah tidak relevan lagi.
Menurutnya, Al-Quran tidak pernah secara tegas melarang hal itu, karena Al-Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Maka, menurut Ulil segala produk hukum Islam klasik yang membedakan kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.
Senada dengan Ulil, Abdul Moqsith Ghazali dalam sebuah paparan diskusi di Universitas Wahid Hasyim Semarang, Sabtu, 18 Desember 2004 mengatakan:
“tidak ada dalil yang melarang pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Bagi saya, tidak ada dalil itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan di antara mereka. Itu yang dimaksud dengan kaidah, ‘adam al-dalil huwa al-dalil. Kalau sudah tidak ada dalil al-Qur`an yang melarang, maka berarti sudah tidak ada dalil, sehingga pernikahan perempuan Musimah dengan laki-laki non-Muslim mesti diperbolehkan”.
Menjadi paradoks di sini, karena meskipun kaum liberal mengatakan bahwa pernikahan beda agama sah, tapi mereka risau dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974.*
Ketua MUI Provinsi Jawa Timur
Sumber : www.hidayatullah.com