Dakwah tak sekadar modal terampil berbicara. Perlu strategi tertentu agar bisa diterima
“Bapak, kami datang ke sini ditugaskan oleh pimpinan kami di Balikpapan. Mohon Bapak berkenan menasihati kami,” kata Ustadz Muhammad Hasyim HS kepada seorang tokoh masyarakat di Berau, Kalimantan Timur.
Kala itu awal tahun 1980-an, Hasyim mendapat tugas dakwah ke Berau. Di daerah itu telah berdiri Pesantren Hidayatullah yang dirintis oleh almarhum Ustadz M, Amin Bachrun.
Sebelumnya Hasyim sudah berpengalaman ceramah di area Balikpapan bersama Allahuyarham Ustadz Abdullah Said (pendiri Hidayatullah). Ia juga pernah mondok di Pesantren Gontor dan kuliah di Akademi Tarjih Muhammadiyah. Bahasa Arabnya lancar. Penguasaan terhadap kitab-kitab fiqih, tafsir, dan sejenisnya terbilang mumpuni.
Pendeknya, bekal sebagai seorang da’i sudah komplit. Namun itu semua tidak membuatnya _jumawa_ (bangga diri). Bagi Hasyim, nasihat dari orang lain tetaplah penting.
Lebih dari itu, apa yang dilakukannya merupakan bagian dari adab ketika memasuki daerah dakwah baru. Perlu permisi kepada tuan rumah.
“Ada da’i yang karena sudah merasa pintar, lantas melangkahi orang-orang yang dituakan di suatu tempat. Main terobos saja. Yang seperti ini bisa menimbulkan salah faham dengan pihak lain,” begitu alasan Hasyim.
Setelah kenal dengan baik tokoh-tokoh masyarakat, Hasyim tak langsung ceramah di mimbar. Tahap berikutnya adalah menjalin silaturrahim dengan takmir masjid, pengurus majelis taklim di berbagai instansi, dan sebanyak mungkin orang.
“Dalam seminggu, enam hari penuh saya gunakan untuk silaturrahim. Waktu sehari untuk kumpul bersama keluarga.”
Ketika silaturrahim, pria kalem ini kerap mengajak santri-santrinya. Mereka ramai-ramai naik sepeda sehingga seperti rekreasi rasanya. “Santri yang merupakan anak-anak yatim dan dhuafa itu akhirnya sering diajak makan oleh tuan rumah,” kenang Hasyim sambil tertawa.