Syafi’i Ma’arif, Kontroversi dan Perjalanan Hidupnya

Iklan Semua Halaman

Syafi’i Ma’arif, Kontroversi dan Perjalanan Hidupnya

Mahmud Thorif
Minggu, 29 Mei 2022

KABAR 
duka datang dari Muhammadiyah, salah satu tokohnya, Prof Dr H Ahmad Syafi’i Ma’arif wafat pada Jum’at, 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping. Informasi tersebut disampaikan langsung oleh Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nasir.

“Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafi’i Ma’arif pada hari Jumat tgl 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping,” kata Haedar dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (26/5/2022).  “Semoga beliau husnul khatimah, diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya, dilapangkan di kuburnya, dan ditempatkan di jannatun na’im. Mohon dimaafkan kesalahan beliau dan do’a dari semuanya,” imbuh Haedar.

Sementara itu, Ketua MDMC PP Muhammadiyah Budi Setiawan menyampaikan bahwa Syafii Maarif akan dishalatkan di Masjid Gede Yogyakarta. Kemudian, pemakaman akan dilakukan di Pemakaman Khusnul Khotimah milik Muhammadiyah yang berlokasi di Dusun Donomulyo, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulonprogo.

Syafi’i Ma’arif merupakan sosok ternama yang kiprahnya dikenal bahkan di luar lingkup Muhammadiyah. Berikut adalah profil Syafi’i, perjalanan hidup, juga sejumlah kontroversi yang melibatkannya.

Profil Syafi’i Ma’arif 

Ahmad Syafii Maarif, dikutip dari Wikipedia, lahir di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935. Ia lahir dari pasangan Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, dan Fathiyah. Ia bungsu dari 4 bersaudara seibu seayah, dan seluruhnya 15 orang bersaudara seayah berlainan ibu.

Ayahnya adalah saudagar gambir, yang belakangan diangkat sebagai kepala suku di kaumnya. Sewaktu Syafii berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal. Syafii kemudian dititipkan ke rumah adik ayahnya yang bernama Bainah, yang menikah dengan adik seibu ibunya yang bernama A. Wahid.

Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke sekolah rakyat (SR, setingkat SD) di Sumpur Kudus. Sepulang sekolah, Pi’i, panggilan akrabnya semasa kecil, belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.

Pendidikannya di SR, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari SR pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.

Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tangah, Lintau sampai duduk di bangku kelas tiga.

Syafi’i lalu merantau ke Jawa Pada tahun 1953, dalam usia 18 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau ke Jawa. Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta oleh M. Sanusi Latief.

Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh.

Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan, ia bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah beberapa bulan belajar.

Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar (Kini Dibawahi oleh Lembaga Pers Mu’allimin), sebuah majalah pelajar Muallimin di Yogyakarta.

Setelah ayahnya meninggal pada 5 Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya. Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru.

Sesampai di Lombok Timur, ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru. Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung halamannya, kemudian kembali lagi ke Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.

Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda pada tahun 1964. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat sarjana penuh (doktorandus) pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.

Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai pelayan toko kain pada 1958. Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.

Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia. Karier Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS.

Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia.

Selama di Chicago inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap Al-Quran, dengan bimbingan dari seorang tokoh pemikiran Islam liberal, Fazlur Rahman.

Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan tokoh liberal Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya. Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak Kampung’. Novel ini telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).

Aktivitas Setelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif Institute. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan dipublikasikan di sejumlah media cetak.

Selain itu ia juga menuangkan pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain berjudul: Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?, kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985.

Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.

Kontroversi ‘preman berjubah’ hingga Ahok

Syafii adalah tokoh penting di dalam tubuh ormas besar Islam Muhammadiyah yang memiliki jutaan umat. Meski demikian, oleh sebagaian kalangan, Syafi’i Ma’arif dianggap sosok yang kontroversial.

Dalam tulisannya di Harian Republika, Selasa, 09 Agustus 2005 mengkritik cara-cara dakwah Front Pembela Islam (FPI) dengan memberi sematan ‘preman berjubah’. “Tidak seperti cara-cara sementara pihak yang menyerbu suatu tempat yang mereka nilai “berbahaya” bagi Islam seperti yang mereka pahami. Ada pula fatwa MUI yang dijadikan dasar. Cara semacam ini adalah cara preman yang berjubah, jauh dari sifat seorang ksatria. Kelompok inilah yang saya kategorikan sebagai mereka yang berani mati, tetapi tidak berani hidup, karena mereka tidak punya sesuatu, kecuali kekerasan, untuk ditawarkan bagi kepentingan kemanusiaan,” tulisanya.

Akibatnya, istilah ini terus dipopulerkan kalangan liberal di Indonesia.

Cendekiawan muslim Dr Adian Husaini mengkategorikan Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah pendukung gagasan liberalisme (neomodernisme) yang mulanya diusung oleh Fazlur Rahman. Adian mencatat bahwa Syafii memuji setinggi-tingginya Fazlur Rahman yang merupakan dosennya.

Ia juga mencatat penyataan Syafii pada 2001 yang menolak kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi. Zuly Qadir mencatat Syafii dan Hasyim Muzadi menolak pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia. Syafii ditulis oleh Budi Handrianto memasukkanya dalam buku berjudul “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekulerisasi, Pluralisme, dan Liberalisasi Agama.”

Sementara Budi Munawar Rachman mengelompokkan Syafii termasuk ke dalam golongan ‘neo-modernis Islam’ bersama Nurcholish Madjid dan tokoh-tokoh lainya. Muhamad Afif Bahaf menuliskan bahwa gerakan Islam Liberal tumbuh subur di Muhammadiyah semasa dipimpin Syafii.

Hal ini ditandai dengan berdirinya tiga komunitas intelektual yaitu Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).  Pada November 2016, Syafi’i Ma’arif kembali menuai kontroversi usai membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama.

Sementara itu Prof Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebut Syafi’i sebagai orang yang egaliter. “Sifat Pak Syafii yang egaliter membuat dirinya tak tampak suka mengambil jarak dengan orang, lebih-lebih dengan “mengangkerkan diri”. Dia mudah cair dan terbuka pada kritik. Orang tidak dibuat takut untuk menyampaikar pendapat, termasuk kritik.”

Dikutip Antara, Senin (7/11/2016), Syafii Maarif membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan meminta publik memperhatikan lebih detail pernyataan politisi keturunan Thionghoa itu yang menurutnya tidak ada ucapan yang melecehkan Al-Quran.  “Secara utuh pernyataan Ahok telah saya baca,” kata Buya Syafii. “Ahok tidak mengatakan Al Maidah (ayat 51) itu bohong,” katanya.

Maksud Ahok, menurut Syafii, hendak mengkritisi orang yang menggunakan Al-Quran untuk membohongi masyarakat agar tidak memilih petahana gubernur itu pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Syafii juga menyalahkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI),  dengan mengatakan, lembaga tersebut harus menjaga martabat melalui fatwa berdasarkan analisa yang jernih, cerdas dan bertanggung jawab.

Bahkan di Koran Tempo edisi Jumat, 2 Desember 2016, Syafii Maarif menulis artikel dengan menyindir kelompok Islam. Menurutnya, hukuman 400 tahun akan memuaskan pihak-pihak yang menuduh Ahok menistakan agama.

“Jika dalam proses pengadilan nanti terbukti terdapat unsur pidana dalam tindakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 27 September 2016 itu, saya usulkan agar dia dihukum selama 400 tahun atas tuduhan menghina Al-Quran, kitab suci umat Islam, sehingga pihak-pihak yang menuduh terpuaskan tanpa batas,” tulis Syafii Maarif.

Sayangnya, pandangannya terhadap Ahok melawan pendapat mayoritas ulama dan tokoh Islam. Termasuk MUI yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama Islam dan para ulama.*

Rep: Fida A.
Editor: Bambang S
Sumber : www.hidayatullah.com