Hati yang Terkunci

Iklan Semua Halaman

Hati yang Terkunci

Mahmud Thorif
Selasa, 05 April 2022


BAYANGKAN sebuah ruangan yang terkunci rapat. Pintunya amat kokoh. Tak ada yang sanggup mendobraknya. Tak ada juga yang bisa membukanya kecuali sang pemegang kunci.

Bayangkan kembali jika orang yang kita sayangi ada di dalamnya. Kita ingin menemuinya namun tentu tak bisa.

Kita tak punya kuasa membuka pintu itu, tak punya kekuatan untuk mendobraknya. Yang bisa kita lakukan hanyalah memohon kepada sang pemegang kunci agar bersedia membukanya.

Lalu bagaimana bila kita tidak dekat dengan sang pemilik kunci? Bagaimana pula bila selama ini kita juga tak pernah mempedulikan seruan sang pemilik kunci, dan tidak juga memperhatikan larangannya? Bahkan memohon kepadanya pun kita tak sempat? Mungkinkah dia mau membukakan kunci itu untuk kita?

Itulah perumpamaan hati manusia. Hati ibarat ruangan yang terbuka sehingga bisa menerima nasehat-nasehat kebaikan.

Namun, hati juga bisa tertutup dan terkunci rapat sehingga tak ada kebenaran yang bisa masuk ke dalamnya.

Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Muhammad [47] ayat 24;

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS: Muhammad [47]: 24)

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya tentang ayat ini bahwa pada hati manusia terdapat kunci. Jika hati telah terkunci maka ia akan mati. Tak satu pun dapat masuk ke dalamnya untuk menghidupkannya kembali kecuali Allah Ta’ala.”

Ibnu Jarir mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ membacakan ayat di atas kepada para sahabatnya. Setelah itu, seorang pemuda dari Yaman berkata, “Bahkan hatinya memang terkunci hingga Allah sendiri yang membukanya.” 

Hati yang terkunci, menurut Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam Kitab Miftah Daris Sa’adah, tak sekadar menutup masuknya ilmu dan kebaikan dari luar, namun juga bisa membuat ilmu yang berada di dalamnya menjadi gelap. Bekasnya pun mungkin sudah tak ada. Akibatnya, apa-apa yang seharusnya membuat seseorang mendapat petunjuk kebenaran, justru menjadi sebab kesesatan.

Singkatnya, menurut Ibn Qayyim, hati yang terkunci akan membuat seseorang tersesat dan akhirnya menjadi rusak. Ketika hati sudah rusak, daya nalar pun ikut rusak.

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

 “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (qalb)” (HR: Bukhari dan Muslim).

Karena itu jangan heran bila kita mendapati orang-orang di sekitar kita, termasuk orang-orang yang kita sayangi, sulit sekali menerima nasehat. Meskipun kita telah mengemukakan nasehat-nasehat kebaikan kepada mereka, dengan rujukan yang jelas dan adab yang juga baik, mereka akan tetap membantahnya.

Kalau pun mereka dengarkan, tak akan masuk ke dalam hati mereka. Nasehat itu tak akan mereka laksanakan. Ini semua karena hati mereka telah terkunci.

Ketika kita mendapati keadaan seperti jni, maka hal utama yang harus kita lakukan adalah berdoa kepada Allah Ta’ala, Sang Pemegang Kunci Hati Manusia, agar bekenan membukakan pintu hati orang-orang yang kita kasihi untuk masuknya hidayah. Hanya Allah Ta’ala yang bisa membuka hatinya, bukan manusia.

Ketika kita terus berdakwah kepadanya maka hal itu semata untuk mencari keridhoan Allah Ta’ala agar Allah Ta’ala melihat kesungguhan kita dan keinginan kita yang begitu besar agar orang-orang yang kita sayangi ini terselamatkan dari kesesatan. Mudah-mudahan Allah Ta’ala akan mengabulkan doa kita.

Namun bila tidak, maka Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui akan segala sesuatu. Bukankah putra Nabi Nuh AS juga terkunci hatinya meskipun Nabi Nuh AS telah memohon kepada Allah Ta’ala agar Allah Ta’ala membukakan hati putranya untuk enerima kebenaran? Bukankah ayah Nabi Ibrahim tetap terkunci hatinya meskipun Nabi yang dijuluki “Kekasih Allah” ini memohonkan hidayah untuk ayahnya?

Tetaplah berdoa, berupaya, dan tidak berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Wallahu a’lam.*/Mahladi

Rep: Mahladi
Editor: Insan Kamil
Sumber : www.hidayatullah.com