Resiko Memindahkan Ibu Kota, Belajar dari Bani Ummayah

Iklan Semua Halaman

Resiko Memindahkan Ibu Kota, Belajar dari Bani Ummayah

Mahmud Thorif
Jumat, 11 Maret 2022

Di Bani Umayyah, memindah ibu kota dari Madinah ke Damaskus, secara ekonomi tidak ribet, Meski lokasinya juga strategis, tapi masih menimbulkan persoalan tidak sederhana

Oleh: Tohir Bawazir

Hidayatullah.com | PEMERINTAHAN Presiden Joko Widodo nampak sangat ngebet ingin segera memindahkan ibu kota RI dari  Jakarta ke wilayah yang sangat jauh dari Jakarta yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Yang kalau diukur jaraknya dari Jakarta, lebih dari 2000 Kilometer jauhnya, serta harus menyeberangi lautan pula.

Sebuah  rencana perpindahan yang spektakular dan beresiko sangat tinggi serta memiliki dampak yang sangat besar, baik dari segi ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya. Anehnya  untuk ide yang sangat besar semacam ide pindah ibu kota, seperti didapat secara mendadak dan bukan menjadi bagian jualan dan propaganda penting Joko Widodo untuk materi kampanye  pencalonan presiden baik di masa pemilu tahun 2014 maupun di masa pemilu tahun 2019.

Logikanya, untuk hal sepenting dan sebesar itu, bisa dijadikan  daya jual dan iming-iming kepada konstituennya, kalau dirasa ide semacam itu akan memperoleh banyak dukungan masyarakat. Tapi ini tidak.

Sekonyong-konyong, Presiden bergerak cepat memutuskan dan memilih wilayah Kabupaten Penajam Paser utara Kalimantan Timur sebagai calon ibu kota baru ketika jadi presiden terpilih untuk  kedua kalinya. Bahkan diputuskan ketika negara tidak sedang baik-baik saja karena dilanda  wabah Covid-19 yang sudah mendera selama dua tahun dan sudah merusak kehidupan  ekonomi dan psikologis masyarakat.

Ditambah  lagi masalah beban negara yang menggunung, seperti hutang  negara yang menumpuk, kondisi ekonomi rakyat yang semakin sulit, minyak goreng hilang di pasaran, dan sebagainya.  Namun  presiden tetap percaya diri ide itu jalan terus  dan anehnya didukung pula oleh  mayoritas anggota  DPR, kecuali dari Fraksi PKS yang menolak ide perpindahan ibu kota ini.

Sebetulnya ide memindahkan ibu kota ke wilayah lain, bukan ide baru. Dahulu Presiden Soekarno juga pernah mewacanakan perpindahakan ibu kota ke Kota Palangkaraya di ibu kota Kalimantan Tengah. Presiden Soeharto juga pernah memiliki ide perpindahan ibu kota ke wilayah Jonggol di Kabupaten Bogor, yang jaraknya dari Jakarta hanya sekitar 40 Kilometer saja.

Namun semuanya baru sebatas wacana karena rezimnya mendadak  berakhir sebelum idenya dapat diwujudkan. Pasti semua presiden memiliki motif tertentu untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta, dari motif yang tulus hingga motif akal bulus, ada yang lillahi Taala, ada pula yang membawa pesan sponsor.

Ide Presiden Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota  ke kota baru yang nanti akan bernama ibu kota Negara(IKN)  Nusantara, berdalih untuk sharing dan pemerataan pembangunan ekonomi yang selama ini  50% hingga 70% hanya teralokasikan di wilayah Jawa, Bali dan Sumatra. Diharapkan nantinya dengan pindah ibu kota, pemerataaan pembangunannya bisa terserap ke wilayah Indonesia Tengah dan Timur, sehingga dapat dikurangi kesenjangan ekonomi ke wilayah lainnya secara lebih merata.

Artinya Presiden memiliki perhatian lebih terhadap  pembangunan di wilayah Timur Indonesia. Dan nyatanya pada  kamis kemarin, tanggal 10 Maret 2022, Presiden Joko Widodo sudah langsung menunjuk sekaligus melantik di Istana Presiden Kepala Otorita ibu kota  Nusantara  Bambang Susantono, dan wakilnya  Dhony Rahajoe.

Dua orang yang dianggap mengerti dan berpengalaman membangun kota baru. Kedudukan Kepala Otorita ibu kota baru, nanti akan berkedudukan setingkat mentri. Kalau rencana tersebut  terwujud, ide perpindahan ibu kota dapat dimulai secara bertahap mulai tahun 2024.

Biaya Besar dan Berpotensi Mangkrak

Menurut Presiden, biaya perpindahan ibu kota  membutuhkan dana sekitar 501 Trilyun rupiah, yang mana biaya pembangunannya tidak sepenuhnya tergantung kepada APBN tetapi juga mengandalkan investasi swasta, termasuk investasi dari luar negeri.  Berdasar pengalaman selama ini, dalam praktiknya nanti, biaya perpindahan ibu kota bisa membengkak berkali-kali lipat dari rencana, sebagaimana pula sudah pernah terjadi di kasus proyek mercusuar Presiden Joko Widodo dengan membangun kereta api cepat Jakarta – Bandung, yang penggarapannya ditangani Tiongkok.

Rencana awal biaya proyek tersebut  60 Trilyun, realisasinya hingga kini sudah membengkak hingga 100 Trilyun. Padahal  proyek ini di wilayah yang lebih mudah aksesnya, apalagi nanti proyek di daerah yang  sangat jauh, seperti pembangunan ibu kota baru,  potensi pembengkakannya akan lebih memungkinkan lagi.

Untuk proyek kereta cepat Jakarta – Bandung, yang dibangun tanpa mendengar dan masukan dari pihak luarpun, diperkirakan akan kesulitan untuk mengembalikan modal, artinya proyek itu diprediksi akan menjadi proyek yang selamanya  akan merugi dan membebani keuangan negara. Tetapi apa mau dikata, masukan dan saran dari para ahli tidak pernah didengarkan. Mungkin beliau berpikir, parlemen juga ada di pihaknya.

Manfaat penguasa memindahkan ibu kota ke tempat yang sangat jauh dari hiruk pikuk ibu kota selama ini, sebagaimana sering didengungkan,  adalah diharapkan  penguasa dapat lebih nyaman dalam mengambil keputusan politiknya, tanpa diganggu dan ‘dirongrong’ oleh pihak-pihak yang  kritis dan berpotensi mengganggu kebijakan politiknya, seperti mahasiswa, para akademisi, cendikiawan,tokoh-tokoh oposisi baik yang di parlemen atau di luar parlemen, budayawan, ulama dan para dai berpengaruh lainnya, semuanya sudah sangat jauh.

Sehingga suara-suara sumbang dan tidak sejalan dengan kebijakan penguasa bisa dianggap angin lalu, karena yang ribut ada dimana, yang diributin ada dimana. Sehingga  di ibu kota baru nanti, penguasa dapat pula mensortir dan menseleksi penduduknya, bahkan dapat  pula mendatangkan orang baru dari luar negeri pun sangat memungkinkan.

Yang paling miris dari rencana perpindahan ibu kota tersebut, naskah akademiknya tidak pernah jelas dan  transparan  dibuka kepublik. Bahkan tanpa melibatkan partisipasi publik sedikit pun. Rencana untuk menentukan harus pindah ibu kota, dan harus di kabupaten Penajam Paser Utara tidak pernah digaungkan dan diseminarkan dan dilakukan debat publik yang melibatkan para akademisi, budayawan, ulama, pakar lingkungan, politisi dan sebagainya. Sehingga masyarakat dan publik merasa ikut dilibatkan dengan rencana besar tersebut. Itu tidak terjadi.

Ini seperti sepenuhnya ide  pribadi  Presiden Joko Widodo (entah siapapun pembisiknya), namun kalau rencana ini gagal dan berantakan, mangkrak, atau tidak  dilanjutkan ketika di tengah perjalanan, dan sebagainya,  seluruh bangsa ini akan menanggung akibatnya. Bahkan peran parlemen yang diharapkan sedikit lebih kritis terhadap eksekutif karena mewakili masyarakat,  sepertinya sudah kehilangan daya kritisnya.

Dalam waktu yang cepat dan tanpa minta masukan ke publik, malam-malam hari mayoritas anggota parlemen langsung ketok palu setuju pindah ibu kota. Kita masih ingat kasus kegagalan proyek kawasan olahraga di Hambalang Bogor, di era Presiden SBY, yang berakibat menyeret beberapa pejabat masuk ke penjara.

Karena proyek tersebut tidak transparan dan hanya menjadi ‘bancakan’ sebagian pejabat partai Demokrat di waktu itu. Mudah-mudahan ini harus dijadikan sebagai pelajaran. Jangan sampai kesalahan  semacam itu berulang lagi.

Perkara memindahkan ibu kota bukan hal mudah dan sederhana, karena implikasinya sangat besar. Tidak semua berhasil mulus memindahkan ibu kotanya.

Malaysia berhasil memindahkan ibu kota dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, yang hanya berjarak 30 kilometer dari Kuala Lumpur.  Jadi tidak terlalu banyak yang harus ikut boyongan karena lokasinya yang dekat, dana negara pun mereka tersedia.

Namun perpindahan ibu kota Indonesia dianggap paling spektakular, karena berpindah terlampau jauh, dan memilih daerah yang masih kosong dan jarang penghuninya. Kalau hanya alasan untuk  mengurangi kesenjangan pembangunan ekonomi, pembangunan tetap dapat dilakukan dengan meratakan hasi-hasil pembangunan dan mengalokasikan dana APBN secara adil dan proporsional ke berbagai wilayah, membangun  berbagai prasarana jalan dan industri di masing-masing daerah yang dianggap berpotensi, tanpa harus memindahkan ibu kota yang berbiaya sangat besar.

Ibu kota Jakarta sudah memiliki semua kesiapan prasarana tersebut. Lokasi Jakarta sudah memiliki sejarah yang sangat panjang sebagai pusat ekonomi dan perjuangan politik semenjak zaman penjajahan Hindia Belanda.

Semua etnis bangsa Indonesia, sudah ada di Jakarta. Dari sejak zaman Hindia Belanda hingga kini, tidak ada satu pun demo atau keberatan dari daerah lain, yang  merasa “iri” terhadap keberadaan ibu kota Jakarta.

Bahkan Jakarta dan kota penyangganya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, sudah menjadi rumah bersama bagi semua etnis suku dan agama di Indonesia. Artinya semua etnis sudah menikmati kedudukan ibu kota Jakarta sebagai kota sekaligus negara milik bersama, tidak hanya didominasi oleh etnis Betawi saja, tetapi sudah menjadi etnis Indonesia secara keseluruhan, dari sabang hingga Merauke. Artinya Jakarta sudah berhasil menjadi episentrum dan magnit lalu lintas manusia Indonesia. Bahkan akses dari dan ke luar negeri pun, Jakarta  sudah menjadi kota yang paling terdepan.

Sesuatu yang sudah tidak pernah dipermasalahkan oleh rakyat Indonesia tentang kedudukan Jakarta, seolah-olah dianggap masalah oleh Presiden Joko Widodo.  Padahal yang dibutuhkan rakyat terhadap pemimpinnya adalah sikap keadilan dan kejujuran pemimpinnya. Pemimpin harus menunjukan keteladan dan contoh bagi rakyatnya.

Negara  harusnya dijauhkan dari kerusakan akibat korupsi yang sudah membudaya disini, negara harus melindungi generasi muda dari bahaya narkoba dan sebagainya,  bukan pindah ibu kota. Ibarat sakitnya disini, tapi obatnya dikasih di tempat lain lagi.

Alasan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur yang dianggap lebih ke “tengah” Indonesia dibandingkan dengan Jakarta yang nampak lebih ke “barat” Indonesia, adalah alasan yang tidak logis. Jakarta sudah amat ”pertengahan” Indonesia, justru kalau pindah ke kabupaten Paser yang sudah diganti nama dengan kota Nusantara, menjadi pindah ke “tepi”.

Tidak di tengah, tapi di tepi dan terpencil, jauh dari mana-mana, kecuali dari Samarinda dan Balikpapan. Nanti ibu kota baru, dapat terasa bukan milik bersama lagi seluruh bangsa Indonesia, tetapi milik penguasa dan orang-orang di sekitarnya yang ikut menikmati kelimpahan proyek pembangunannya.

Semua etnis bangsa Indonesia, sudah ada di Jakarta. Dari sejak zaman Hindia Belanda hingga kini, tidak ada satu pun demo atau keberatan dari daerah lain, yang  merasa “iri” terhadap keberadaan ibu kota Jakarta.

Bahkan Jakarta dan kota penyangganya seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, sudah menjadi rumah bersama bagi semua etnis suku dan agama di Indonesia. Artinya semua etnis sudah menikmati kedudukan ibu kota Jakarta sebagai kota sekaligus negara milik bersama, tidak hanya didominasi oleh etnis Betawi saja, tetapi sudah menjadi etnis Indonesia secara keseluruhan, dari sabang hingga Merauke. Artinya Jakarta sudah berhasil menjadi episentrum dan magnit lalu lintas manusia Indonesia. Bahkan akses dari dan ke luar negeri pun, Jakarta  sudah menjadi kota yang paling terdepan.

Sesuatu yang sudah tidak pernah dipermasalahkan oleh rakyat Indonesia tentang kedudukan Jakarta, seolah-olah dianggap masalah oleh Presiden Joko Widodo.  Padahal yang dibutuhkan rakyat terhadap pemimpinnya adalah sikap keadilan dan kejujuran pemimpinnya. Pemimpin harus menunjukan keteladan dan contoh bagi rakyatnya.

Negara  harusnya dijauhkan dari kerusakan akibat korupsi yang sudah membudaya disini, negara harus melindungi generasi muda dari bahaya narkoba dan sebagainya,  bukan pindah ibu kota. Ibarat sakitnya disini, tapi obatnya dikasih di tempat lain lagi.

Alasan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur yang dianggap lebih ke “tengah” Indonesia dibandingkan dengan Jakarta yang nampak lebih ke “barat” Indonesia, adalah alasan yang tidak logis. Jakarta sudah amat ”pertengahan” Indonesia, justru kalau pindah ke kabupaten Paser yang sudah diganti nama dengan kota Nusantara, menjadi pindah ke “tepi”.

Tidak di tengah, tapi di tepi dan terpencil, jauh dari mana-mana, kecuali dari Samarinda dan Balikpapan. Nanti ibu kota baru, dapat terasa bukan milik bersama lagi seluruh bangsa Indonesia, tetapi milik penguasa dan orang-orang di sekitarnya yang ikut menikmati kelimpahan proyek pembangunannya.

Bahkan penduduk asli di sekitar wilayah Kalimantan Timur  itupun belum tentu ikut menikmati kelimpahan “rezeki”  ibu kota baru. Karena yang dapat menikmatinya adalah yang memiliki kesiapan, skill dan kedekatan dengan penguasa. Namun kalau ada musibah dan bencana alam yang terkait dengan kerusakan ekosistem disana, sudah pasti mereka akan terdepan memperoleh akibatnya.

Begitu pula nanti para ASN (pegawai negeri sipil), dari seputaran Jakarta  harus siap pindah dan hijrah ke tempat yang baru, yang akan terputus dengan lingkungan sebelumnya. Ikut pindah, berarti siap meninggalkan kampung halamannya, siap berpisah dengan orangtua, saudara, teman dekat dan semua memori  kehidupan sebelumnya.

Tidak bersedia  pindah, terpaksa harus siap di PHK atau harus pensiun dini, dan kehilangan mata pencaharian. Sebuah pilihan hidup yang sangat berat, menyempurnakan akumulasi kekhawatiran tentang kehidupan di masa depan yang semakin penuh ketidakpastian. Sekarang saja perasaan was-was sudah menghantui puluhan ribu kepala keluarga, yang harus siap pindah ke kota baru nanti.

Belajar dari Sejarah

Umat Islam memiliki pengalaman yang sangat berharga tentang masalah pindah ibu kota. Dahulu ketika Daulah Bani Umayyah berdiri (sekitar tahun 40 Hijriah). Khalifahnya memindahkan ibu kota dan pusat pemerintahan dari kota suci Madinah ke Damaskus yang berjarak sangat jauh.

Waktu itu sang khalifah berargumen, bahwa wilayah Islam sudah berkembang sangat luas, dan wilayah Damaskus  yang tadinya hanya sebagai kota provinsi, saat itu dianggap lebih strategis dibanding Madinah, sehingga lebih layak dijadikan sebagai ibu kota kekhalifahan Islam.

Namun memindahkan secara sepihak, tanpa bermusyawarah dengan penduduk Madinah yang berisi orang-orang terbaik di masanya, tempat tinggal para shahabat Nabi dan cucu Nabi, adalah perbuatan menyakiti penduduk Madinah. Apalagi penduduk Madinah memiliki SDM yang paling baik, karena dididik langsung oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Namun di mata khalifah saat itu, dengan berhasil memindahkan ibu kota ke Damaskus, sang khalifah merasa nyaman dan aman dari ‘rongrongan’ penduduk Madinah, dimana dalam menetapkan kebijakan politiknya seperti memilih khalifah pengganti, khalifah sudah tidak perlu melibatkan tokoh-tokoh Madinah, cukup bermusyawarah dengan orang-orang seputaran istana di Damaskus yang sudah jelas memiliki loyalitas penuh kepada khalifahnya.

Sehingga suksesi kepemimpinan Daulah Bani Umayyah, terasa lebih mulus, karena telah berhasil “memarginalkan” peran Madinah. Namun dampak politiknya, ternyata tidak sesederhana itu.

Hingga puluhan tahun pertama kekuasaan Bani Umayyah, terjadi konflik  politik yang berdarah-darah dan berkepanjangan antara pasukan Khalifah Bani Umayyah di Damaskus dengan penduduk Madinah yang menewaskan ribuan tokoh-tokoh Islam terbaik.  Ini salah satunya gara-gara pindah ibu kota dan memarginalkan warga sebelumnya yang lebih berhak.

Bagi yang ingin mendalami lebih dalam tragedi  tentang tragedi ini bisa melihat sejarah Bani umayyah.  Referensi sejarah Islam banyak meriwayatkan tragedi tersebut yang dikenal sebagai Tragedi  Perang Harah, Tragedi Karbala dan Tragedi terbunuhnya  Khalifah Abdullah bin Zubair ra di depan Ka’bah. Mudah-mudahan ini dapat sebagai pelajaran berharga.

Padahal dahulu memindahkan ibu kota Islam dari Madinah ke Damaskus, dari aspek ekonominya, tidak terlalu ribet, karena Damaskus memang kota yang sudah berkembang, dilihat dari lokasinya Damaskus juga sangat strategis. Namun  dari aspek politik itu tetap saja menyisakan luka yang sangat dalam, karena persoalan utamanya tidak dapat dianggap sederhana .

Apalagi kali ini, di Indonesia ide pindah ibu kota dari kota yang bagus dan strategis ke kota yang belum ada dan tidak strategis, ditambah jarak yang sangat berjauhan.  Ini  adalah pertaruhan politik yang sangat luar biasa, ditambah lagi dengan biaya yang sangat spektakular.

Terus terang kami khawatir, kalau ide tersebut terus dipaksakan, selain memperberat kehidupan ekonomi yang saat ini sudah sangat berat, akan menjadi semakin berat. Bisa jadi ibu kota baru nanti hanya akan dihuni oleh orang-orang loyalis penguasa, dan memungkinkan pula akan didominasi etnis tertentu.

Penguasa mungkin akan nyaman karena dikelilingi para loyalis, namun  penguasa semakin jauh dari rakyatnya. Suara-suara ‘gangguan’ rakyat  mungkin semakin  tidak terdengar lagi. Namun  jangan lupa, kemarahan dan kekecewaan rakyat ada batasnya, kalau menganggap penguasa sudah bukan miliknya lagi, problema disintegrasi bangsa bisa terjadi.  Indonesia bisa dalam bahaya. (Jakarta, 11 Maret 2022)

Penulis pemerhati sosial dan agama

Rep: Admin Hidcom
Sumber : www.hidayatullah.com