Begini Pengakuan Yahudi yang Menyamar Jadi Muslim untuk Beribadah di Masjid Al-Aqsha

Iklan Semua Halaman

Begini Pengakuan Yahudi yang Menyamar Jadi Muslim untuk Beribadah di Masjid Al-Aqsha

Mahmud Thorif
Rabu, 16 Maret 2022

Aktivis Yahudi, Raphael Morris, harus mempersiapkan banyak hal sebelum menyelinap untuk berdoa di kompleks Masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis atau Yerusalem yang diduduki.

Pria berusia 26 tahun itu harus mengganti pakaian Yahudi ortodoksnya dengan thobe – pakaian tradisional pria Palestina yang juga disebut Dishdasha atau jalabiya, dan kippa hitamnya dengan kopyah putih.

Sembari bercermin, ia menyelipkan poni gelap dan panjangnya ke belakang dengan minyak rambut dan menyembunyikannya di bawah kopiah. Terdengar dia menggumamkan beberapa kata bahasa Arab untuk menyegarkan ingatannya.

Melansir Al-Jazeera pada Rabu (16/03/2022), Morris adalah salah satu dari sekelompok kecil Yahudi ekstrem ‘Israel’ yang berupaya menghindari larangan berdoa bagi non-Muslim di kompleks Masjid Al-Aqsha dengan menyamar sebagai Muslim dan bergabung dalam barisan shaf selama sholat berjamaah.

Setelah Zionis ‘Israel’ mencaplok Yerusalem Timur pada tahun 1967, status quo yang rumit disepakati dengan Yordania – penjaga situs Islam di kota itu. Hak untuk beribadah di Masjid Al-Aqsha, dalam kesepakatan itu, akan hanya diberikan kepada umat Islam dan orang Yahudi diperbolehkan beribadah di Tembok Barat di dekatnya.

Kompleks Al-Aqsha atau al-Haram al-Sharif (Tempat Suci) adalah situs tersuci ketiga Islam. Kompleks itu terdiri dari Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu, tempat Rasulullah SAW memulai perjalanan ke langit dalam Isra’ Mi’raj.

Orang-orang Yahudi percaya bahwa kuil-kuil Yahudi dalam Alkitab pernah berdiri di Kompleks itu, yang mereka sebut Temple Mount atau Kuil Gunung.

Didirikan oleh Morris dan istrinya sembilan tahun lalu, organisasi Returning to the Mount (“Kembali ke Gunung” merujuk pada Kuil Gunung), mengajak orang-orang Yahudi untuk berdoa di kompleks Masjid Al-Aqsha dengan menyelinap diantara para jamaah Muslim.

Mereka meyakini tindakan mereka akan membuka jalan bagi “kedaulatan penuh Yahudi atas Kuil Gunung dan pembangunan kuil Yahudi di atas Kubah Batu,” kata Morris.

Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya berupaya untuk membuat publik terlibat dengan menggelar demonstrasi serta mempengaruhi parlemen dan media.

Menurut Morris, setiap hari puluhan orang Yahudi menyelinap ke kompleks Masjid Al-Aqsha. Selain itu, jumlah orang yang menghubungi organisasinya untuk meminta diajari cara menyamar dan menyelinap ke situs tersebut terus meningkat, klaimnya.

Anggota organisasi Morris rela mengambil kursus bahasa Arab, mempelajari percakapan sederhana dan menghafal ayat-ahat al-Qur’an agar dapat melalui pos pemeriksaan keamanan tanpa ketahuan polisi ‘Israel’ atau penjaga keamanan Palestina di gerbang kompleks Masjid Al-Aqsha.

“Ada puluhan ribu Muslim yang melewati gerbang-gerbang ini setiap hari. Target kami adalah untuk berbaur dan tidak ketahuan,” kata Morris kepada Al Jazeera sambil memamerkan beberapa “kostum” yang dia kenakan untuk menyelinap.

Para penyelinap “profesional” dapat berdiri di sebelah jamaah Muslim dan melakukan sholat tanpa ketahuan, sementara mereka yang “kurang berpengalaman” masuk ketika kondisi sepi.

Kelompok pemukim ilegal Yahudi ‘Israel’, sejak tahun 2003, sering melanggar larangan berdoa yang sudah ditetapkan.

Selain organisasi Morris, sejumlah Yahudi sayap kanan ‘Israel’, terutama rabi dan aktivis Yehuda Glick, telah menyerukan untuk beribadah dan berdoa di Masjid Al-Aqsha.

Tahun lalu, setelah otoritas Zionis melarang rabi Aryeh Lippo untuk berdoa di kompleks Masjid Al-Aqsha selama dua minggu, pengadilan Yerusalem berusaha mencabut larangan tersebut. Sehingga hal itu memicu kemarahan warga Palestina.

New York Times dalam laporannya, juga tahun lalu, mengklaim bahwa otoritas Zionis “diam-diam” mengizinkan pemukim Yahudi melakukan ibadah di kompleks tersebut. Laporan itu menunjuk kasus Glick, yang secara teratur memasuki kompleks dan tidak menyembunyikan ritualnya.

Menurut media ‘Israel’, puluhan gerakan masyarakat telah berupaya mengubah status quo di kompleks Masjid Al-Aqsha beberapa tahun terakhir. Beberapa mencoba membangun benda-benda seremonial di dalam kompleks, sementara yang lain fokus pada lobi politik dan mendorong tokoh Yahudi untuk berkunjung.

Dilaporkan bahwa frekuensi kunjungan orang Yahudi juga meningkat, dengan lebih dari 10.000 pemukim Yahudi memasuki situs tersebut antara September dan November tahun lalu – meningkat 80 persen dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.

Pada Mei tahun lalu, ketegangan meningkat di Yerusalem menyusul penyerbuan berulang kali ke kompleks itu oleh polisi Israel selama bulan suci Ramadhan, menyebabkan ratusan jemaah terluka.

Peristiwa itu bertepatan dengan aksi protes mendukung keluarga Palestina yang menghadapi pengusiran dari rumah mereka di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur yang diduduki.

Tindakan keras ‘Israel’ di Yerusalem Timur yang diduduki dan serangan militer 11 hari di Gaza memicu protes massal yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh orang-orang Palestina di dalam ‘Israel’, di wilayah yang diduduki serta di diaspora.

Setidaknya 248 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak tewas dalam serangan Israel ke Gaza. Sedikitnya 12 orang, termasuk dua anak-anak, juga tewas di ‘Israel’ oleh roket yang ditembakkan dari Gaza.

Membangun kembali kuil

Morris baru-baru ini menerima larangan memasuki kompleks Masjid Al-Aqsha selama tiga bulan oleh polisi ‘Israel, ia juga diperintahkan untuk menjauh dari Kota Tua, namun ia bersumpah untuk kembali.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Institut Yerusalem untuk Studi Strategis pada tahun 2017 menemukan bahwa sekitar 70 persen pemukim Yahudi ‘Israel’ percaya bahwa ‘Israel’ harus mendapatkan kedaulatan atas situs tersebut, memungkinkan orang Yahudi untuk berdoa dan membangun sebuah kuil di sana.

“Jika Anda bertanya kepada seorang Yahudi apakah mereka ingin membangun kembali kuil, jawabannya adalah ya,” kata Morris, mengulangi keyakinannya bahwa kunjungan tersebut adalah langkah pertama untuk mencapai tujuan itu.

Dualitas ‘Ironis’

Palestina menuduh pasukan Israel menindak Murabithun (para penjaga Masjid Al-Aqsha), melarang puluhan pria dan wanita Palestina memasuki Al-Aqsha karena aktivisme mereka menentang kunjungan tidak sah ‘Israel’ ke kompleks.

Di antara mereka adalah Hanadi Halawani, seorang guru ngaji di kompleks Masjid Al-Aqsa dan mahasiswa PhD di Universitas Birzeit. Halawani telah ditangkap oleh pasukan ‘Israel’ dan dilarang dari situs tersebut lebih dari 60 kali karena aktivismenya.

“Yang ironis adalah saya saat ini dilarang masuk masjid selama enam bulan karena otoritas Israel secara salah menuduh saya melanggar perintah pengusiran tahun 2020.

“Sementara itu, para pemukim secara terbuka berbicara tentang memasuki kompleks dengan menyamar, dan tidak ada yang dilakukan untuk menghukum mereka,” kata Halawni.

Terlepas dari pembatasan yang sedang berlangsung yang dihadapi Halawani dan puluhan Murabithun lainnya atas aktivisme mereka, dia bersumpah untuk melanjutkan.

“Adalah tugas kita sebagai Muslim untuk melindungi Al-Aqsa dari penyusup,” katanya kepada Al Jazeera. “Pemukim Israel tidak berhak atas tempat ini.”*

Rep: Nashirul Haq
Sumber : www.hidayatullah.com