Sosok Penuh Semangat Itu Telah Pergi

Iklan Semua Halaman

Sosok Penuh Semangat Itu Telah Pergi

Mahmud Thorif
Selasa, 20 April 2021

 

(Tulisan ini ditulis bersebab Ketua Dewan Pertimbangan Hidayatullah, Ustadz Abdul Mannan, MM Meninggal dunia)

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.

Ma sya Allah…

Alangkah cepat perjalanan hidup ini. Rasanya belum lama mendengar Pak Manan bertutur penuh semangat sembari lesehan di rumah Pak Indarto, menceritakan perjalanan Hidayatullah dari rintisan awal berupa kursus, tantangan yang dihadapi hingga akhirnya mempunyai tempat di Karangbugis, lalu dinamika awal di Gunung Tembak, orang-orang yang ghuluw sampai mengkultuskan Ustadz ‘Abdullah Sa’id hingga diasingkan sebagai langkah korektif dan beragam kisah di lapangan, khususnya saat merintis dakwah pedalaman.

Malam itu Pak Manan seolah-olah hanya bercerita. Tetapi tidak. Pak Manan sedang memotivasi. Pak Manan sedang menyuntikkan sikap, keyakinan dan prinsip-prinsip yang harus dipegangi oleh seorang muslim, meningkat lagi yang harus dipegangi oleh aktivis dakwah, oleh pejuang dakwah, tantangan yang kadang terabaikan ketika sudah berhimpun bersatu dalam harakah, bahayanya ghuluw dan ‘ashabiyah, serta berbagai hal lain. Semua mengalir begitu saja, duduk santai tetapi bertutur penuh semangat, kata-kata tersusun rapi dan berisi. Ini menandakan bahwa kalimat-kalimat itu keluar bukan karena kecermatan memilih kata, tetapi karena benar-benar ada dalam pribadi Pak Manan. Ini bukan kalimat motivator. Ini kalimat yang lahir dari jiwa.

Sebagaimana ketika beliau berubah nada dan hentakan suaranya, terasa sekali bahwa ini bukan teknik komunikasi. Saya lama belajar tentang teknik-teknik olah suara untuk presentasi. Saya pernah belajar kepada Mike Handcock dan Dave Rogers dalam soal public speaking, meskipun tidak lama dan setelah itu tidak saya pakai ajaran keduanya. Saya juga pernah intens belajar teater, terkhusus dalam olah suara sehingga menjadi peka mengenali mana yang alamiah dan mana yang hasil polesan. Apalagi yang polesan teknik suaranya masih kasar. Dan penuturan Pak Manan malam itu, rasanya hamper tidak mungkin kalau hentakan nada, perubahan suara dan berbagai hal lainnya merupakan teknik yang sengaja dipilih.

Tidak. Itu adalah spontanitas yang merupakan cerminan diri beliau. Ia menyatu dan begitu adanya, sehingga benar-benar terasa hidup. Dan kami pun terduduk, termangu, berkecamuk menyadari betapa sedikitnya yang sudah kami perbuat untuk agama ini. Mungkin saja ada yang mengambil pelajaran dari cara beliau berbicara, tetapi suasana yang terasa, ekspresi wajah-wajah yang hadir, pembicaraan yang mengikuti sesudahnya hingga waktu yang agak jauh adalah apa yang beliau sampaikan. Kalau sekedar menangis, di banyak training kita akan mudah sekali menjumpai airmata yang tumpah dengan harga murah. Tetapi itu hanya mengaduk-aduk emosi. Bukan membangkitkan kesadaran jiwa. Menangis sesaat saat suara trainer melengking hebat, sesudah itu padam seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Tetapi pembicaraan Pak Manan malam itu tidak demikian. Beliau tak beranjak dari tempatnya duduk, tetapi jiwa ini rasanya seperti diaduk-aduk. Beliau bertutur mengalir, tak perlu sampai berteriak, tetapi jiwa ini rasanya menggelegak menyadari sedikitnya yang sudah kami perbuat untuk agama ini. Beberapa waktu sesudahnya, pembicaraan di antara yang hadir masih terkait dengan apa beliau tuturkan. Dalam bahasa psikologi, cerita beliau malam itu benar-benar menghasilkan authentic learning (pembelajaran yang otentik). Salah satu dari empat ciri pembelajaran otentik adalah substantive conversation; percakapan spontan yang menyibukkan diri dengan isi pembicaraan dan menggali pelajaran lebih dalam. Bukan membincang asyik dan lucunya pembicaraan maupun pembicaranya.

Hari ini, sosok penuh semangat itu telah pergi. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla ampuni segala dosanya, terima seluruh ‘amal shalihnya dan tinggikan kedudukan beliau di akhirat, dihimpunkan bersama para anbiya’, syuhada, shiddiqin dan orang-orang shalih. Semoga beliau termasuk yang disebut oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat An-Nisaa’ ayat 69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisaa’, 4: 69).

Dan cepat atau lambat, kita pun akan menyusul. Semoga kelak Allah hadiahkan kepada kita akhir kehidupan yang baik, sehingga tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan ‘alal fithrah; dalam keadaan nafsul muthmainnah.

Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi., Penulis Buku-buku Parenting