Tuduhan Radikalisme pada Pak Din, Itu Lucu-lucuan yang Berbahaya

Iklan Semua Halaman

Tuduhan Radikalisme pada Pak Din, Itu Lucu-lucuan yang Berbahaya

Mahmud Thorif
Kamis, 11 Februari 2021


Oleh: Ady Amar

SIAPA Pak Din Syamsuddin itu, tentu banyak yang mengenalnya. Tokoh Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia, setidaknya orang mengenalnya demikian.

Pak Din, masih aktif mengajar dan sebagai guru besar UIN Sjarif Hidayatullah, Jakarta. Otomatis menempel padanya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pak Din pernah mendapat amanah sebagai Wakil Ketua dan lalu menjadi Ketua Umum MUI, Ketua Dewan Pertimbangan MUI, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode.

Di tingkat internasional pun Pak Din pernah didaulat sebagai Chairman pada World Peace Forum (WPF), Honorary President pada World Conference on Religions for Peace (WCRP).

Saat ini pun beliau menjabat sebagai Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC).

Pak Din aktif sebagai pembicara di forum-forum nasional dan internasional. Baru saja ia diundang sebagai pembicara pada perayaan Al-Azhar (Mesir) untuk Persaudaraan Kemanusiaan Dunia, sebuah event internasional arus utama moderasi dalam menolak radikalisme, bersama Paus Fransiscus.

Baca: Din Syamsuddin Bicara pada Perayaan Al-Azhar untuk Hari Persaudaraan Kemanusiaan Sedunia

Baiklah, lalu apa ada yang mengenal atau mendengar GAR-ITB, sebelum suratnya (19/2021) yang dishare ke ruang publik itu, pastilah tidak banyak yang mengenalnya.

Adalah sebuah organisasi yang menamakan diri Gerakan Anti Radikalisme ITB (GAR-ITB), yang melaporkan Pak Din Syamsuddin pada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), berkenaan dengan pelanggaran kode etik dan kode perilaku Din Syamsuddin.

Seorang kawan aktivis ITB angkatan 78 an yang ditanya, apa tahu dengan GAR-ITB itu? Jawabnya, Gak pernah dengar sebelumnya. Tambahnya, kecuali saat GAR itu membidik Pak Din Syamsuddin sebagai penganut radikalisme.

GAR-ITB entah siapa motornya tidak jelas, wujudnya seperti apa juga tidak jelas. Tapi itu forum para alumni ITB, katanya. Forum serius atau forum jadi-jadian, atau setidaknya dijadi-jadikan, juga tidak ada yang tahu.

Tapi GAR-ITB ini lalu jadi  dibicarakan, tentu dibicarakan dengan aneh tapi nyata. Ada pula yang menganggap forum lucu-lucuan. Lucu, karena yang dibidik adalah tokoh moderat dengan tuduhan sebaliknya.

Tuduhan salah sasaran dan  diada-adakan. Tuduhan model begini itu lalu dilaporkan pada yang berwajib, sepertinya jadi model. Dan lalu laporan yang diada-adakan itu ditanggap dan diproses. Dan itu pada tokoh-tokoh kritis, yang kritis pada kebijakan rezim.

Silahkan Rakyat Mengkritik Pemerintah, Kata Presiden

Lalu KASN sigap meneruskan surat GAR-ITB itu pada Tim Satgas Penanganan Radikalisme ASN. Sebuah Satgas yang terdiri dari para pejabat dari berbagai kementerian dan lembaga negara. Dibentuk  Nofember 2019, dibentuk dengan tidak main-main, dengan SKB 11 Menteri.

GAR-ITB merilis suratnya pada 28 Januari 2021. Dan surat itu langsung menggelinding dibahas untuk menentukan sikap terhadap Pak Din atas laporan radikalisme itu.

Jika menyikapi surat itu dengan sewajarnya, maka surat itu tidak perlu repot-repot sampai dibahas dengan serius segala. Buang-buang waktu dan menghina akal sehat saja. Karena tokoh yang sepanjang hidup berada dan memilih sikap moderat, itu lalu harus “difitnah” sebagai penganut radikalisme.

Itu tuduhan serius, tuduhan tidak main-main. Tuduhan pada tokoh yang bukan cuma dimiliki persyarikatan Muhammadiyah saja, tapi tokoh umat Islam Indonesia, bahkan dunia.

Pak Din Syamsuddin memang pribadi kritis, jika melihat sesuatu kebijakan dirasakan “melenceng” ia coba luruskan. Saat ini ia sebagai tokoh utama pada Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), sebuah gerakan moral, yang dianggap sebagai oposan pada rezim Presiden Jokowi.

KAMI sebagai gerakan kritis, mengingatkan pada gerakan oposan di era Orde Baru, Petisi 50, yang mengkritisi kebijakan rezim Soeharto. Petisi 50 yang diinisiasi Ali Sadikin, M. Natsir, AM Fatwa, Chris Siner Keytimu dan tokoh-tokoh kritis lainnya, kala itu dicap sebagai gerakan subversif.

Melihat itu semua, maka bisa dipastikan laporan GAR-ITB perihal radikalisme Din Syamsuddin itu, lebih pada sikap kritis Pak Din pada rezim ini. ASN “haram” kritis, begitu? Kita lihat saja, bagaimana Satgas Penanganan Radikalisme ASN itu menyikapinya.

Bersyukur pada Hari Pers Nasional tgl 9 Februari 2021, Presiden Jokowi mencanangkan pernyataan gamblang dalam pidato sambutannya, “Silahkan rakyat mengkritik pemerintah”. Artinya, presiden menyadari bahwa kritik konstruktif itu dibutuhkan, dan itu bagai vitamin di alam demokrasi.

Meski banyak yang menyangsikan apa yang disampaikan presiden itu bisa diterjemahkan dengan “pelarangan” penangkapan pada kelompok kritis. Buktikan dulu dengan pembebasan pada Syahganda Nainggolan dan rekan lainnya dari kelompok KAMI, itu salah satu pintah pembuktiannya. Bubarkan buzzer, pintah lainnya.

Mentersangkakan Pak Din yang dilakukan GAR-ITB sebagai pelaku radikalisme, itu mestinya tidak perlu terjadi. Itu jika upaya “pembelahan” pada masyarakat ini dihentikan. Tidak diterus-teruskan. Berbahaya…! (*)

Kolumnis, tinggal di Surabaya

Sumber : www.hidayatullah.com