Amina Wadud dan Kontroversi Imam Shalat Jumat

Iklan Semua Halaman

Amina Wadud dan Kontroversi Imam Shalat Jumat

Mahmud Thorif
Senin, 15 Februari 2021


www.hidayatullahsleman.org | Amina Wadud  lahir  dengan  nama asli Maria  Teasley  di Bethesda,  Maryland, pada  25  September  1952.  Dia dibesarkan dalam lingkungan Kristen, ayahnya  adalah  seorang pendeta Methodist. Pada  1972 Wadud mengucapkan syahadat.

Dua tahun kemudian ia mengubah namanya menjadi  Amina  Wadud. Ia menerima gelar  BS  dari  The University  of  Pennsylvania,  pada  1975.  Ia memperoleh gelar  MA  di  Studi  Timur  Dekat  dan  gelar  Ph.D. dalam Bahasa  Arab dan  Studi  Islam  dari University  of  Michigan pada  tahun  1988.

Selama kuliah, Wadud juga  belajar  bahasa  Arab di American University di Kairo (AUC), dilanjutkan dengan  studi al-Qur’an  dan tafsir di Universitas  Kairo dan  ikut kursus filsafat  di Universitas al-Azhardi Kairo, Mesir. Ia kemudian menjadi guru besar Agama dan Filsafat di Universitas Persemakmuran Virginia.

Selanjutnya, dia dipekerjakan sebagai profesor madya di International Islamic University di Malaysia. Saat bekerja di Malaysia, ia mendirikan Sisters In Islam pada 1988  hingga 1992.

Sejak 1992 Wadud telah bekerja sebagai profesor madya Kajian Islam di Virginia Commonwealth University di AS. Ia juga menghabiskan berbagai periode sebagai profesor tamu dan dosen di universitas lain di Eropa dan Amerika Serikat. Ia pensiun pada tahun 2008, dan jadi sebagai profesor tamu di Pusat Studi Keagamaan dan Lintas Budaya di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Indonesia.

Buku pertamanya “Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective” diterbitkan oleh Sisters In Islam, sebuah kelompok liberal di Malaysia. Sejak itu bukunya  ‘kitab suci’ dan teks kunci kaum feminis di seluruh dunia, namun dilarang di dunia Arab.

Kontroversi pemikiran Amina dimulai pada Agustus 1994. Saat itu, dia menjadi khatib dan menyampaikan khotbah Jumat di Masjid Claremont, Cape Town, Afrika Selatan. Tindakan yang dianggap telah melanggar hukum Islam, hanya diketahui oleh segelintir orang.

Pada tanggal 18 Maret 2005, tindakan yang nyeleneh ini diulangi lagi. Ia menggegerkan dunia dengan  kembali menjadi  Imam dalam  shalat  Jumat  dengan  para  makmum campur-aduk antara  laki-laki  dan  perempuan tanpa sekat.  Kegiatan  tersebut  dilakukan  di  sebuah  Gereja  Katedral  di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street New York.

Peristiwa tersebut menimbulkan kontroversi luas. Tiga masjid menolak menjadi tuan rumah salat dan sebuah galeri seni tempat rencananya akan dilangsungkan mendapat ancaman bom. Akhirnya, shalat dilakukan di Gereja Anglikan, dihadiri 60 jamaah wanita dan 40 pria yang duduk bersama, tanpa pemisahan.

Adzan sholat dilakukan oleh seorang wanita  bernama Suheyla El-Attar. Acara yang  disponsori  Muslim Women’s Freedom Tour, dibawah kepemimpinan Asra Nomani dikecam pengunjuk rasa yang berkumpul di luar acara.

Pada 2008, lagi-lagi secara demonstratif ia kembali menjadi imam shalat Jumat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford (Inggris).

Wadud secara khusus berfokus pada kritik terhadap adat istiadat dalam budaya Islam yang telah digunakan untuk memisahkan dan menekan perempuan. Bersama dengan kelompok feminis, Amīnah Wadud ingin mengkampanyekan ‘hak-hak perempuan’ dan hak kesetaraaan dalam masalah agama dalam Islam termasuk, hak untuk memimpin shalat.

Sayangnya apa yang dilakukan telah menabrak batas-batas dengan berusaha merombak total seluruh penafsiran Syariah. Hanya kelompok liberal yang membela tindakan ini. Salah satunya Khaled Abou El-Fadl, profesor Studi Islam di UCLA, California.

“Para wanita yang terpelajar dan frustrasi bahwa mereka tidak bisa menjadi imam akan melihat bahwa seseorang mendapat keberanian untuk memecahkan pangkat dan melakukannya,” katanya.

Menyelisihi Empat Madzhab

Kalangan Ahlus Sunnah tidak ada perselisihan soal hukum wanita menjadi imam dengan makmum laki-laki. Dalam Musyawarah Nasional VII MUI Pusat tanggal 28 Juli 2005 mengeluarkan fatwa mengharamkan wanita menjadi imam shalat dengan makmum laki-laki.

“Wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah,” demikian fatwa yang ditandatangi KH Ma’ruf Amin dan H Hasanuddin.

Bantahan juga pernah disampaikan Syeikh Dr Yusuf Al-Qaradhawi. Qaradhawi mengatakan bahwa, meskipun seorang perempuan dapat memimpin perempuan lain dan bahkan mungkin anak-anaknya yang masih kecil dalam shalat, dia tidak dapat memimpin kelompok campur-aduk termasuk pria non-mahram. Hal senada juga disampaikan Syeikhul Azhar kala itu, Syeikh Sayyid Muhammad Tantawi.

Syeikh Tantawi mengkritik  shalat Jumat ala Amina Wadud dan kelompok liberal di surat kabar Mesir Al-Ahram:  “Ketika dia memimpin pria dalam shalat, dalam hal ini, tidak pantas bagi mereka untuk melihat wanita yang tubuhnya ada di depan mereka..”

Saat menjabat sebagai Mufti Besar Mesir Syeikh Dr Ali Jumah pada tahun 2014 juga pernah mengatakan, madzhab empat bahkan delapan tidak ada perselisihan soal hukum wanita menjadi imam dengan makmum laki-laki.

“Para ulama madzhab empat, bahkan madzhab delapan serta tujuh dari fuqaha Madinah sepakat bahwasannya wanita tidak boleh mengimami shalat wajib dan bahwa shalat mereka yang menjadikannya sebagai makmum tidak sah,” jelas Syeikh Ali Jumah dalam laman https://www.DrAligomaa.com.

Anggota Hai’ah Kibar Ulama Al Azhar itu menambahkan,   bahwasannya mereka yang menyerukan dan mendukung ibadah seperti ini masuk dalam kelompok yang menyimpang. “Dari mereka ada yang menolak Sunnah dan ijma’. Dan dari mereka ada yang menyeru kepada penyimpangan seksual, menghalalkan perkara-perkara yang diharamkan, mengubah hukum pembagian warisan,” tambahnya.*

Sumber : www.hidayatullah.com