Oleh: Kholili Hasib
“TIGA ratus ayat di dalam al-Qur’an mengajarkan paham radikal”. Ucapan berhawa kebencian ini dipastikan hanya copy paste. Dalam suasana Perang salib I, Petrus Venerabilis, kepala Biara Cluny Prancis, pernah mencerca al-Qur’an dengan sinis: “Al-Qur’an tidak lepas dari peran setan”, kata dia (Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an, hal. 23). Ungkapannya berbeda, tetapi hawa intoleransinya sama persis.
Pemikiran seperti tersebut bukan sekedar tidak pantas, namun membahayakan agamanya sendiri dan kehidupan beragama secara umum. Hujatan Petrus pada masa berkecamuk Perang Salib sama sekali tidak mempengaruhi umat Islam. Bahkan, sebagian orang Yahudi Prancis malah mengecam pendeta biara itu. Simpati pada Islam. Puncaknya adalah, beberapa puluh tahun setelah hujatan Petrus itu dikeluarkan, Baitul Maqdis berada di tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Oleh sebab itu, pemikiran radikalisme seperti itu tidak boleh hidup di negeri ber-Pancasila ini. Jika ada pemikiran sinis tersebut di negeri ini, maka cara pandangnya terhadap Islam dan umat Islam harus diperbaiki. Para tokoh-tokoh Muslim pendiri bangsa pernah memberi contoh terbaik bertoleransi dan legowo dengan umat beragama lain.
Kita pasti ingat sejarah penetapan Pancasila dan UUD 1945 yang begitu alot, meski telah disepakati bersama. Para tokoh Islam yang terlibat dalam perumusan Pancasila seperti KH. Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosoejoso dan Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh Piagam Jakarta.
Ketika itu, pihak non-Muslim memaksa agar pada tanggal 18 Agustus 1945 tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus dari sila Pertama Pancasila. Padahal teks Piagam Jakarta, dengan tujuh kata tercantum di dalamnya, sudah disepakati bersama Bung Karno. Pemaksaan mendadak dari pihak minoritas itu mengagetkan semua pihak. Termasuk kaum Nasionalis yang juga bersikap biasa-biasa saja menerima tujuh kata itu. Ini bukan hanya paksaan, tapi ancaman keluar dari NKRI disampaikan.
Umat Islam ketika itu terpaksa menerima, untuk menjaga keberlangsungan Negara merdeka yang baru saja diproklamirkan satu hari sebelumnya (Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, hal. 13).
Demikian sikap legowo umat Islam pada saat terjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa dan Negara ini. Semua umat beragama patutlah meneladani sikap bagaiaman legowo-nya tokoh-tokoh Islam di atas.
Secara konseptual, toleransi Islam patut dicontoh oleh umat beragama lain. Allah Swt berfirman: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki ) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut. Bahwasannya seseorang dilarang untuk dipaksa masuk agama Islam.
Sebab kebenaran Islam itu sangat jelas, terang dan bukti-buktinya gamblang. Menurut Ibn Katsir, sebagaimana cukup jelas dalam ayat di atas bahwa percaya kepada Islam merupakan kebenaran. Sedangkan ingkar terhadap Islam adalah kesesatan. Orang yang masuk Islam adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan orang non-Islam adalah orang-orang yang buta hatinya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim).
Ketika Islam menegaskan kebenaran risalah Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ ia tidak bermakna bahwa umat Islam harus memusuhi dan membunuhi umat agama lain. Justru, liberalisme yang lahir di Barat pada masa orang Barat gagal mendamaikan agama. Karena tidak memiliki konsep toleransi, maka mereka kebingungan mendefinisikan toleransi.
Suatu hari jenazah orang Yahudi melintas di depan Nabi Muhammad ﷺ dan para Sahabat. Nabi Muhammad ﷺ pun berhenti dan berdiri. Para Sahabat terkejut, kemudian bertanya: “Kenapa engkau berhenti Ya Rasulullah?, sedangkan itu adalah jenazah orang Yahudi”. Nabi pun menjawab :”Bukankah dia juga manusia?” (HR. Bukhari).
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah ﷺ tegas mengatakan, siapa saja orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mengakui kenabiannya, adalah kafir. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak seorangpun di kalangan umat ini yang mendengar tentangku dari kalangan Yahudi maupun Nasrani kemudian ia meninggal dan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa kecuali ia tergolong penghuni neraka.” (HR: Muslim).
Inilah toleransi, membiarkan umat beragama lain bebas. Tapi ingat, tanpa mencampur-adukkan. Boleh menyalahkan. Hal itu biasa. Tapi tidak boleh berbuat kekerasan. Ketika Rasulullah ﷺ tiba-tiba berdiri, tentu saja para Sahabat kaget. Namun, para Sahabat akhirnya paham ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak mengikuti ritual pemakaman orang Yahudi tersebut. Beliau cuma berdiri, tidak sampai ikut menghantarkan ke liang lahat dengan berbagai ritualnya.
Jadi, toleransi Islam dengan umat beragama itu hanya menyentuh ranah social. Coba perhatikan, beliau berkata alasannya menghormati; “Bukankah dia seorang manusia”.
Sehingga, toleransi yang melampaui wilayah sosial ini tidak tepat. Karena itu, Nabi ﷺ tidak mengatakan; “Bukankah dia Yahudi”. Sebab toleransi bukan dengan membenarkan keyahudiannya. Toleransi malah ada itu karena memang berbeda, yang ada unsur salah dan benar. Oleh sebab itu toleransi itu jauh berbeda dengan pluralisme.
Untuk toleran tidak perlu sok ramah datang ke gereja membawa tumpeng. Jika anda punya makanan lebih, boleh anda memberikan ke tetangga non-Muslim. Tidak perlu sampai ke gereja, difoto dan dishoting. Pamer tapi yang dipamerkan (riya’nya) suatu kebatilan.
Tingginya toleransi Islam itu disebutkan oleh para ulama syafiiyyah bahwa boleh sedekah kepada saudara kandung yang non-Muslim. Bahkan orang tua yang kafir tetap memiliki hak untuk diberi nafkah ketika sudah tua dan wajib dihormati, diluar perkara ibadah atau keimanan.
Sikap demikian yang harus ditumbuh-kembangkan di Negara ini. Dulu ketika ada penjajah Belanda mengolok-olok Al-Qur’an, KH. Hasyim Asy’ari bereaksi. Berpidato di hadapan jamaah Nahdlatul Ulama: “Belalah Al-Qur’an. Perkuat Persatuan”!. Beliau tidak balik menghujat agama Nasrani. Justru mengajak semua elemen bangsa melawan penjajah yang menghujat itu.
Jadi, jika negeri ini kekal, tentram dan damai, jangan coba-coba menenggelamkan toleransi. Mencerca al-Qur’an dan sinis kepada Islam adalah contoh sikap mengubur toleransi. Jangan terjadi lagi di NKRI ini.*
Penulis dosen Pascasarjana IAI Dalwa
Rep: Ahmad
Sumber : www.hidayatullah.com