Sebanarnya, saya sudah lama tahu tentang suku pedalaman yang tinggal di hutan-hutan Halmahera, Maluku Utara, lewat internet. Namanya Suku Togutil.
Setahu saya, suku ini bukanlah suku ganas. Bahkan, sebagaimana kebanyakan suku yang tinggal di hutan-hutan, mereka cenderung "pemalu". Bila bertemu orang-orang kampung, mereka buru-buru lari masuk hutan.
Namun, beberapa waktu lalu, saya kaget saat mengetikkan kata kunci "Togutil" pada mesin pencari di internet. Yang muncul justru berita tentang keganasan suku ini. Seorang warga suku Togutil dikabarkan tertangkap kamera sedang mengarahkan anak panahnya ke seorang warga kampung.
Membaca berita ini, pikiran saya langsung melayang pada sahabat saya, Ust Nurhadi, dai muda Hidayatullah yang sangat sabar membina warga suku Togutil meski dengan segala keterbatasannya. Apakah dia juga pernah disakiti warga suku Togutil? Apakah pernah ia ditodong dengan anak panah atau tombak?
Siapa pula sebenarnya suku Togutil ini? Benarkah mereka jahat seperti digambarkan oleh berita tadi? Seperti apa kehidupan mereka?
Pertengahan pekan lalu, saya berkesempatan mengunjungi Ust Nurhadi di Halmahera atas undangan PosDai Hidayatullah. Kami bukan sekadar bertukar kabar, dia bahkan mengajak saya untuk menemui "sahabat-sahabatnya" warga suku pedalaman.
Inilah perjalanan jauh yang amat melelahkan namun menyenangkan. Saya terbang meninggalkan Jakarta sebelum subuh, menuju sebuah pulau di timur Indonesia. Ternate. Lalu menyeberang ke Halmahera, melanjutkan perjalanan darat selama hampir 5 jam ke arah Tobelo Barat, dan kembali terhempas selama 4 jam di antara gelombang laut yang memaksa saya harus berteriak "Allahu Akbar."
Sesampai di pesisir Maba Utara, perjalanan rupanya belum berujung. Saya masih harus meniti jalan kecil berkerikil dan berbelok-belok selama hampir satu jam, menyeberangi sungai yang jika sedang surut airnya setinggi lutut. Dan, di tempat yang amat jauh itulah saya bertemu dan melihat langsung kehidupan orang-orang suku Togutil.
Mereka tinggal di gubuk-gubuk kecil tak berdinding. Atapnya rumbia dan bawahnya papan. Mirip saung. Mereka hidup mengelompok. Sebagian dari mereka masih bertelanjang dada. Namun sebagian yang lain telah berpakaian.
Sebuah tombak dan anak panah tersandar di pojok. Saya meminta izin untuk memegangnya. "Tombak itu mereka gunakan untuk berburu binatang seperti rusa, bukan untuk membunuh manusia," kata Ust Nurhadi.
Lega rasanya. Ternyata mereka tak seganas sebagaimana diberitakan media tadi. Bahkan, banyak di antara mereka yang telah memeluk Islam lewat perantaraan Ust Nurhadi yang sangat sabar membimbing mereka.
Laporan lebih lengkap tentang perjalanan ini sedang saya tulis. Jika kelak sudah selesai, silahkan baca di Majalah Suara Hidayatullah. ***
Mahladi Murni, Wartawan Senior Hidayatullah